Sabtu, 20 Maret 2010

Prawacana Reformasi Pendidikan Indonesia

Penyelesaian dari persoalan-persoalan pendidikan tidaklah dapat diatasi dengan cara bagian per bagian. Persoalan-persoalan pendidikan berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Artinya bahwa satu persoalan adalah penyebab atau disebabkan oleh sebab-sebab yang lain. Sebagai contoh, persoalan jeleknya kualitas pengajaran guru di dalam kelas, ternyata berkolerasi positif dengan rendahnya gaji yang mereka terima. Rendahnya gaji yang mereka terima ternyata berkorelasi positif dengan rendahnya anggaran pendidikan nasional. Rendahnya anggaran pendidikan nasional ternyata berkorelasi positif dengan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting sebuah proses pendidikan bagi perkembangan kehidupan suatu bangsa. Kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan suatu bangsa ternyata berkorelasi positif dengan niat politik para elite untuk memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan. Ketiadaan niat politik ini ternyata berkorelasi positif pula dengan definisi anggaran pendidikan yang tidak pernah seragam dan begitulah seterusnya.


Demikian halnya dengan jeleknya implementasi pendidikan di dalam kelas serta beratnya kurikulum pengajaran nasional, ternyata berkorelasi positif dengan tidak dipetakan secara jelas apa yang menjadi kebutuhan individu-individu peserta didik dalam lingkungan kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang berbangsa dan bernegara. Tidak link and mactnya antara kurikulum dan kebutuhan riil masyarakat ternyata berkorelasi positif dengan strategi pendidikan nasional yang berkaitan secara langsung dari ketidakjelasan tujuan pendidikan nasional. Ketidakjelasan tujuan pendidikan nasional ternyata berkolerasi positif pula dengan sistem pendidikan nasional. Cikal bakal itu semua, ternyata berkorelasi positif dengan undang-undang sistem pendidikan nasional yang diundangkan.


Adalah hal yang wajar, bila kemudian timbul suatu kehendak yang begitu besar untuk merubah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, karena dianggap sebagai biang keladi keterpurukan pendidikan di Indonesia. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang dikenal dengan UU No. 2 tahun 1989 dianggap terlalu politis dan penuh dengan “muatan”, sehingga mematikan daya kreasi dan kreativitas masyarakat pendidikan.


Adalah sesuatu yang logis pula, seiring dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah, akhirnya sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralistis dan menekankan keseragaman harus diganti dengan sistem pendidikan nasional yang bersifat desentralistik atau otonom, yaitu satu sistem yang menyerahkan tanggungjawab proses pendidikan sepenuhnya kepada daerah yaitu kabupaten/kota dengan mengembangkan suatu manajemen pendidikan berbasis sekolah (School Based Management). Lalu pertanyaannya, apakah dengan cara demikian, permasalahan pendidikan di Indonesia sudah dianggap selesai?

Memang, sebab dari segala sebab keterpurukan pendidikan Indonesia adalah undang-undang sistem pendidikan nasional yang diundangkan. Sebab dari segala sebab ini, telah memunculkan sebab-sebab lain yang tidak kalah rumitnya. Bila di analogikan dengan penyakit kanker ganas di tubuh manusia, sistem pendidikan yang telah berkembang selama 32 tahun yang baru diundangkan secara resmi pada 1989 dengan wujud UU no. 2 Tahun 1989 ini telah menjalar hampir ke seluruh tubuh penderitanya, sehingga tidak bisa diobati hanya dengan cara mengoperasi atau membuang satu induk kanker saja, karena induk kanker ini telah melahirkan induk-induk kanker yang lain yang kadar keganasannya lebih dari pada induk yang melahirkannya. Bagaimanakah dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003? Walaupun Undang-undang ini diharapkan dapat mereformasi pendidikan di Indonesia, tentulah jawabannya tidak bisa langsung dapat "membalikkan telapak tangan". Ini disebabkan, di samping secara substansial Undang-undang tersebut perlu dicermati kembali juga ditambah lagi dengan komitmen para "penyelenggaranya" juga harus diuji alias tidak "setengah hati".


“Reformasi pendidikan”, ini adalah kata kunci yang harus dipahami secara hakiki. Makna dari desentralisasi pendidikan nasional dengan segala turunannya, hendaklah tidak diterjemahkan sebagai upaya “cuci tangan” semata dari orang-orang yang seharusnya bertanggungjawab. Juga, jangan desentralisasi sistem pendidikan nasional dijadikan ajang coba-coba, ibarat anak usia balita bermain trial and error. Kelahiran kembali sistem pendidikan nasional Indonesia ini, hendaknya menjadi titik balik pencerahan, keberdayaan dan kejayaan pendidikan Indonesia dan bukan malah sebaliknya menjadi titik penghancuran yang lebih dahsyat. Betapa tidak, karena tidak semua daerah di Indonesia siap untuk melakukannya. Ketidaksiapan ini, di samping faktor-faktor yang bersifat klasik seperti kondisi giografis, latar belakang budaya, kecilnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta kesiapan Sumber Daya Manusia, juga yang paling memprihatinkan adalah tidak dipahaminya sistem desentralisasi ini secara jelas oleh sebagian eksekutif penyelenggara pemerintahan, legislator, para birokrat pendidikan, pengelola pendidikan dan bahkan praktisi pendidikan. Ketidak jelasan ini menyangkut apa yang dimaksud dengan desentralisasi pendidikan tersebut; apa hakikat dan pengaruhnya bagi kehidupan mereka, lalu bagaimana tahapan implementasinya, mekanismenya, serta langkah-langkah konkrit apa yang harus dilakukan. Kebingungan ini, belum lagi di tambah kesibukan mereka yang “teramat sangat” dalam membenahi serta mempersiapkan diri terhadap persoalan desentralisasi di bidang politik. Di sisi lain, pemerintah pusat, khususnya Depdiknas RI salah-satu lembaga yang bertanggungjawab belum juga mampu memberikan rumusan yang jelas, apa lagi langkah-langkah konkrit pelaksanaan sebagai bahan acuan. Maka wajar saja apabila masyarakat menjadi apatis, cuekis dan pesimis terhadap persoalan yang sesungguhnya sangat fundamental ini. Pada siapa lagi mereka mengadu? Pada angin yang berhembus, atau rumput yang bergoyangkah?


Kelahiran kembali ini harus dimulai dengan langkah-langkah reformasi total pendidikan Indonesia, karena usaha-usaha yang bentuknya parsial hanya akan membuang-buang waktu dan dana saja serta akan melahirkan suatu kebijakan dan sistem yang tambal sulam, tidak komprehensif, tidak memberi solusi dan pada akhirnya tidak memberikan sumbangsih apa-apa bagi dunia pendidikan Indonesia.


Untuk itulah, maka tulisan-tulisan di blog saya ini akan Mengurai Benang Kusut Pendidikan Indonesia. Tulisan ini lahir sebagai wujud keprihatinan dan keperdulian akan nasib masa depan pendidikan Indonesia. Memang tulisan ini tidaklah secara serta merta akan memberikan jawaban pasti bagi persoalan-persoalan pendidikan di Indonesia. Tingkat keakuratan data, ide atau gagasan harus diuji lebih lanjut dan harus disesuaikan dengan kecendrungan yang selalu berkembang di masyarakat yang memang tidak homogen. Tetapi setidaknya, ini adalah satu wacana yang memang langka atau masih jarang dibahas, suatu langkah-langkah konkrit yang dicoba dikemas dalam bingkai menyeluruh dan terintegrasi. Akhir dari sistesis ini tentu diharapkan bagi munculnya tesis-tesis baru yang kemudian berkembang menjadi antitesis-antitesis baru pula secara terus-menerus hingga pada kemunculan realitas sosial baru. Artinya, keseluruhan tulisan ini adalah prawaca bagi wacana pendidikan Indonesia dan permasalahan pendidikan universal, yang mampu memunculkan polemik, diskusi, debat yang pada akhirnya terbentuk formula penyelesaian yang mendekati sempurna.


Iqro’, bacalah! Tuhan telah mengisyaratkan manusia untuk “membaca” yaitu memahami, memaknai dan mengambil hikmahnya lalu menerapkan dengan baik dan benar dalam lingkungan kehidupan manusia sebagai kalifatullah di muka bumi. Tuhan pun telah memaparkan ayat-ayatnya di seluruh alam semesta. Hikmahnya, semua yang ada di muka bumi adalah “proses”. Demikian halnya reformasi pendidikan. Dia adalah proses melalui langkah-langkah yang menyeluruh. Reformasi pendidikan tidak bisa sekali jadi, karena Tuhan pun menciptakan dunia tidak sekali jadi, Kun Faya Kun, “Jadi Maka Jadilah”. Makna “Maka Jadilah” ini adalah proses 6 hari penciptaan dunia.


Untuk memulai proses reformasi total pendidikan Indonesia, maka harus terlebih dahulu memetakan apa yang menjadi persoalan-persoalan pendidikan secara kontemporer dan temporer, baik itu yang bersifat nasional, lokal daerah maupun yang bersifat global (universal). Persoalan-persoalan pendidikan ini kemudian harus dipetakan ke dalam item-item persoalan secara jelas. Setelah persoalan-persoalan ini dipetakan, maka tindakan selanjutnya adalah mengagendakan langkah-langkah concrete-integrated (rencana strategis) apa yang harus dilakukan . Apabila agenda-agenda tersebut sudah dirumuskan, barulah membaginya ke dalam implementasi tugas dan wewenang dengan tetap berpegang pada asas saling konsolidasi dan konfirmasi. Tugas dan wewenang ini, dapat dibagi kepada tiga golongan. Golongan pertama, yaitu yang menyangkut agenda-agenda makro pendidikan seperti bidang regulasi, kebijakan atau undang-undang yang merupakan derivasi dari nilai-nilai filsafat dan paradigma pendidikan Indonesia. Ini berarti tanggungjawab langsung legislatif, eksekutif/birokrat pendidikan, khususnya Depdiknas. Kedua adalah tugas dan wewenang yang menyangkut agenda-agenda mikro pendidikan. Dalam hal ini adalah tanggungjawab langsung dari pengelola, praktisi dan lembaga pendidikan. Ketiga adalah agenda-agenda yang merupakan dukungan penuh (fully support) terhadap makro dan mikro pendidikan atau apa yang dikenal dengan aspek meso pendidikan yaitu tugas dan wewenang masyarakat luas, baik swasta maupun lembaga swadaya masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar