Sabtu, 20 Maret 2010

MENUJU PEMBAHARUAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN INDONESIA

Salah satu dari akibat sistem pendidikan yang sentralistik selama 32 tahun, yang merupakan akibat dari penterjemahan tujuan pendidikan sebagai salah satu usaha untuk menyelamatkan keberlangsungan dan keselamatan negara dalam arti yang sempit dan cendrung politis, telah menjadikan pendidikan di Indonesia terpuruk dan tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa lain. Pada saat bangsa-bangsa lain mencoba untuk menggali terobosan-terobosan baru di bidang teknologi dan informasi serta bangsa-bangsa lain yang seharusnya sejajar dengan bangsa Indonesia, telah mampu meningkatkan dan mendorong sumber daya insaninya ke arah yang tepat, bangsa Indonesia masih saja bergulat dengan isu-isu parsial di bidang pendidikan. Bisa diingat, pada awal tahun 70-an, bangsa Malaysia berguru dan memburu tenaga-tenaga guru dari Indonesia, khususnya pada bidang Matematika dan IPA untuk diboyong ke sana, tetapi sekarang justru Malaysia berada di posisi ke-61 dalam keberhasilan pengembangan sumber daya manusianya, sementara Indonesia harus berpuas diri diurutan ke-109 dari 174 negara di dunia. Ini berarti Indonesia berada setingkat di bawah Vietnam yang menduduki urutan 108 dan bahkan di bawah salah satu negara miskin di Asia yaitu Banglades.

Keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbaharui sektor pendidikan akan menentukan keberhasilan bangsa ini dalam menghadapi tantangan-tangan zaman di masa depan. Pendidikan harus dipahami sebagai human investment yang harus ditata dengan serius dan baik dengan berorientasi pada masa depan, kalau tidak, maka tragedi yang lebih dramatis dari apa yang dirasakan oleh bangsa Indonesia pada saat ini akan menjadi kenyataan.

Perkembangan sosial masyarakat, terutama dalam bidang politik bukan saja mengharuskan pelaksanaan pendidikan untuk dirubah, melainkan juga naskah akademik pendidikan pun harus dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan kehidupan manusia, terutama dalam kaitannya dengan semangat yang sedang menggebu-gebu terhadap penerapan otonomi daerah.

Dalam tataran ini, wajar apabila pada waktu penyusunan, baik Komite Reformasi (KRP) maupun lembaga-lembaga lain yang terkait merasa “kebingungan” dalam mempersiapkan paradigma baru tentang pendidikan nasional yang nantinya akan dijadikan landasan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, apa lagi masukan-masukan yang diharapkan dari masyarakat luas, baik dari para ahli, pemerhati atau pun praktisi pendidikan masih sangat terbatas. Masukan masih berkutat pada persoalan pembiayaan pendidikan, manajemen pendidikan dan tenaga kependidikan. Ini disebabkan karena untuk merumuskan suatu sistem pendidikan nasional bukanlah hal yang sederhana. Penyusunan ini dibutuhkan ketelitian untuk mengamati dan menelaah fenomena yang sedang berkembang di dalam masyarakat, baik lokal, nasional maupun global, mengintisarikan dan kemudian merumuskannya dalam undang-undang yang memadai, sehingga mampu untuk menghadapi perubahan dalam kehidupan, karena jika tidak, maka undang-undang yang baru pun hanya menjadi undang-undang yang tambal sulam dan tidak menyentuh substansinya. Sebagai catatan sejarah, bahwa penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia yang dituangkan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 memakan hampir setengah abad lamanya dari waktu diproklamasikannya negara Republik Indonesia.


A. Tinjauan Global Terhadap Konsep Dasar Pendidikan Nasional Indonesia

Sejarah Sistem Pendidikan Nasional Indonesia

Sejarah pendidikan suatu masyarakat atau bangsa ikut membentuk ciri khusus atau kepribadian suatu bangsa. Melalui proses pendidikan, seharusnya watak bangsa dan kepribadian nasional dapat terpelihara serta dikembangkan sehingga dapat menjadi lebih unggul dan memiliki kelebihan-kelebihan dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kemajuan-kemajuan dalam kehidupan seperti bidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa dapat mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, baik untuk menumbuh-kembangkan watak kepribadian bangsa, memajukan kehidupan dan kesejahteraan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan, serta pencapaian tujuan-tujuan nasional.

Proses pendidikan tersebut di kenal sebagai sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional ini tumbuh dan berkembang dari sejarah bangsa yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dan sumber daya serta potensi yang ada dengan tidak menutup kemungkinan pengaruh dari faktor-faktor yang berasal dari luar lingkungan bangsa yang bersangkutan.

Sistem pendidikan nasional tiap-tiap bangsa berbeda-beda, karena latar belakang sejarah, budaya dan potensi-potensi yang ada di kalangan suatu bangsa yang membentuknya juga berbeda-beda. Sistem pendidikan nasional Indonesia akan berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika, Perancis, Jerman, Inggris dan negara-negara lain di dunia.

Sistem pendidikan nasional Indonesia pada awalnya terbentuk dari sistem pendidikan yang dualistis, yaitu sistem pendidikan yang bersifat modern atau sekuler warisan Belanda yang diterapkan pada sekolah-sekolah umum, dan sistem pendidikan Islami yang bersifat tradisional yang tumbuh dari kalangan umat Islam yang berlangsung di surau, masjid, pesantren dan madrasah. Pada perkembangan berikutnya, sekolah-sekolah yang bersifat umum berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang DEPDIKNAS) dan sekolah-sekolah yang bersifat Islam berada di bawah Departemen Agama.

Catatan perjalanan sejarah terbentuknya sistem pendidikan nasional menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia disusun sebagai usaha untuk mengatasi problema dualisme pendidikan warisan budaya bangsa yang tersebut di atas guna menuju terwujudnya suatu sistem pendidikan nasional Indonesia. Dalam pembentukannya, Sistem pendidikan Nasional Indonesia memakan waktu yang cukup panjang yaitu kurang lebih selama 44 tahun sejak Indonesia merdeka dengan terbitnya UU no 2 tahun 1989. Ini berarti bahwa penyusunan sistem pendidikan nasional bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. UUD 1945 sendiri tidak memberikan penjelasan secara tegas, tetapi hanya menyerahkannya kepada pembuat undang-undang untuk mengaturnya, ini dapat kita lihat pada pasal 31 ayat 2 UUD 1945 yang meyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

Untuk menyusun undang-undang tersebut, para pendiri bangsa Indonesia yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan telah mempersiapkan suatu rancangan tentang pendidikan dan pengajaran yang akan dilaksanakan sesuai dengan maksud UUD 1945. Rancangan tersebut antara lain adalah:

1.Dengan undang-undang kewajiban belajar, atau peraturan lain jika keadaan di suatu daerah memaksanya, pemerintah memelihara pendidikan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya, seperti ditetapkan dalam undang-undang Dasar pasal 31.
2.Dalam garis-garis adab perikemanusiaan, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah “keselamatan” dan “kebahagiaan” masyarakat.

Dari pokok pikiran tersebut, maka jelaslah bahwa yang diinginkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah adanya suatu sistem pengajaran atau pendidikan nasional yang mampu memelihara pendidikan kecerdasan akal budi secara merata kepada seluruh rakyat yang bersendikan agama dan kebudayaan bangsa untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan masyarakat bangsa Indonesia seluruhnya.


Dasar dan Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia

Untuk mewujudkan apa yang dimaksud oleh pasal 31 ayat 2 UUD 1945, yaitu penyusunan tentang undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ternyata melalui proses yang cukup panjang yaitu baru diundangkan pada tanggal 27 Maret 1989 dengan undang-undang no. 2 tahun 1989. Dalam perkembangannya, memang sebelum tanggal 27 Maret 1989 tersebut telah terdapat beberapa undang-undang yang mencoba untuk mengatur tentang sistem pengajaran dan pendidikan nasional, misalnya UU no. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah; UU no. 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU no. 4 tahun 1950 dari RI dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, untuk seluruh pengajaran di Indonesia. UU no. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi; UU no 14 PRPS tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional; dan UU no 19 PNPS tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila; namun semua undang-undang tersebut bukan merupakan undang-undang tentang satu sistem pengajaran atau pendidikan nasional seperti yang dikehendaki oleh pasal 31 ayat 2 UUD 1945, karena UU tahun 1950 dan 1954 hanya memuat tentang Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, dan UU tahun 1961 hanya memuat tentang perguruan tinggi semata. Sedangkan UU 1965, walaupun sudah mengatur sistem pendidikan nasional, tetapi bukan merupakan perwujudan dari pelaksanaan UUD 1945.

Setelah rezim orde baru memegang tampuk kekuasaan dari rezim orde lama, dan dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai perwujudan pengamalan Pancasila di bidang pendidikan, yang menurut rezim orde baru ini tidak dilakukan oleh rezim orde lama, maka pendidikan nasional indonesia dirancang sebagai berikut:

1.pembentuk manusia pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri;
2.pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh yang mengandung makna terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, faham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diberikan kepada peserta didik sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendidikan nasional.

Berdasarkan dari dua pemikiran tersebut di atas, maka sistem pendidikan nasional Indonesia secara sadar disusun sebagai suatu upaya agar bangsa Indonesia dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya serta mampu mengembangkan dirinya secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan kata lain bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia menjadi alat serta tujuan yang amat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Oleh karena itu, untuk merealisasikan sistem pendidikan nasional seperti yang dimaksud di atas, maka sistem pendidikan nasional Indonesia dilakukan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan; dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang dituangkan dalam UU no. 2 tahun 1989 tersebut adalah kristalisasi dari sistem pendidikan bangsa yang dipengaruhi oleh perkembangan sejarah, norma-norma dan nilai-nilai budaya Indonesia. Ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan “Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia”. Dalam pelaksanaannya, pembuat undang-undang ini menginginkan pendidikan nasional dapat mengemban secara terpadu sistem pendidikan yang ada di Indonesia, baik yang berupa sistem Barat warisan Belanda maupun sistem Islam yang memang telah berkembang sejak lama di tanah air Indonesia, sebagaimana yang dikatakan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional:

“Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional”.

Ini juga mengisyaratkan bahwa satuan pendidikan yang ada dan berkembang di negara Indonesia dapat masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, sepanjang tidak bertentangan dengan dasar fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dalam pasal 2 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah dirumuskan dasar dari pendidikan nasional Indonesia yaitu “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”. Kemudian dalam pasal 3 dirumuskan fungsi dari pendidikan nasional:

“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”.

Ada yang dimaksud dengan tujuan nasional dalam pasal 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah apa yang dikehendaki dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia 4;

…membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…”.

Dari tujuan nasional tersebut, maka dirumuskanlah tujuan pendidikan nasional Indonesia, seperti yang termuat dalam pasal 4 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Mengenai aspek-aspek tujuan pendidikan nasional, secara lebih lengkap dapat dilihat pula dalam rumusan GBHN tahun 1988 yang dirumuskan bersamaan dengan Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional:

“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, bertanggungjawab, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”.


B. Kelemahan Sistem Pendidikan Nasional dan Dampaknya Bagi Dunia
Pendidikan

Berbicara mengenai penyebab dari carut-marutnya pendidikan di tanah air, maka tidaklah dapat dihindari dari perdebatan mengenai sistem pendidikan nasional Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang sifatnya lebih kepada masalah-masalah praksis pendidikan (aspek mikro), seperti biaya pendidikan, pemerataan pendidikan, serta kualitas pengajar dan pengelola pendidikan. Dengan kata lain bahwa penyebab dari segala sebab-sebab utama bagi timbulnya ketidakberesan proses pelaksanaan pendidikan di suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem apa yang digunakan, karena sistem inilah yang menjadi landasan utama yang mengatur dan mengarahkan kecendrungan-kecendrungan proses pelaksanaan pendidikan secara menyeluruh, bahkan sampai kepada pola sikap guru di dalam kelas.

Kelemahan sistem pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya adalah pada konsekuensi logis dan politis pada penerapannya. Dengan sistem yang demikian, maka sistem pendidikan nasional Indonesia mensyaratkan bagi sistem yang bersifat sentral atau terpusat dan sistem yang dilandasi oleh tindakan penyeragaman atau uniformitas. Sistem yang seperti ini juga menjadikan intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan kepada bidang pendidikan, yang pada akhirnya melumpuhkan lembaga pendidikan itu sendiri. Usaha untuk memberikan pengetahuan yang relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat menjadi tidak terwujud. Individu-individu peserta didik akhirnya hanya dieksploitasi dan dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah atas nama negara dan bangsa.

Bila melihat dari salah satu tujuan pendidikan yang ada secara universal yang telah dikupas pada awal tulisan ini, maka sistem pendidikan nasional Indonesia telah dirancang sebagai alat atau usaha untuk melestarikan dan mempertahankan keselamatan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Inilah landasan utama Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.

Sesungguhnya tidaklah mengherankan apabila perumus Undang-Undang No.2 tahun 1989 lebih memilih pendidikan yang bersifat terpusat dan seragam seperti di atas, karena sejarah Indonesia memungkinkan bagi terbitnya undang-undang yang demikian. Latar belakang sosial, budaya dan agama yang beragam dari bangsa Indonesia tidak diterjemahkan sebagai peluang tetapi hanya dipandang sebagai tantangan dan kendala. Kondisi geografis dan keberagaman di atas dianggap sebagai ancaman bagi timbulnya disintegrasi bangsa, apa lagi setelah timbulnya prahara politik tahun 1965 dengan munculnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
Alasan sejarah dan latar belakang yang demikianlah yang menjadi landasan berfikir dalam penyusunan sistem pendidikan nasional. Kondisi ini juga ditambah dengan alasan-alasan politis yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai ideal pendidikan, yaitu sebagai satu usaha untuk melestarikan idiologi. Pada tahapan ini, pendidikan Indonesia sudah menjadi alat yang sistematis bagi pemerintah untuk melestarikan dan menyelamatkan kekuasaannya, atau kalau dalam bahasa mereka melestarikan dan menyelamatkan negara dan bangsa. Tujuan pendidikan nasional menjadi perwujudan dari tujuan kebijakan politik. Pendidikan kemudian menjadi alat seleksi, kontrol, sosialisasi nilai, pengetahuan, keterampilan yang efektif dan masif demi tercapainya mobilisasi tenaga kerja yang pada akhirnya legitimasi kekuasaan. Pada sisi yang lain, utamanya dari isi pendidikan, usaha pemerintah memberikan pendidikan moral, baik melalui mata pelajaran Pancasila maupun pendidikan agama, lebih mengedepankan verbalitas dari pada substansi nilai. Akibatnya justru menimbulkan kecendrungan untuk membawa fragmentasi berfikir anak didik dan lebih memperkuat primordialisme. Celakanya, intervensi yang dilakukan pemerintah ini tetap tidak mampu untuk membendung keinginan masyarakat untuk menggali kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Pada akhirnya perkembangan yang demikian tidak mampu direspon dan diakomodasi oleh lembaga pendidikan.

Di samping faktor di atas, sistem pendidikan nasional Indonesia mencakup jangkauan sang sangat luas dan cendrung tidak penting bagi perkembangan pendidikan. Kalau pada zaman Orde Lama, Bung Karno mengutamakan pembangunan karakter bangsa, maka Orde Baru mengedapan persoalan-persoalan mulai dari ekonomi, politik, kebudayaan, agama, moral, hingga kepermasalahan idiologi dan moral Pancasila. Persoalan yang sebegitu luas telah dipaksakan untuk diurus di dalam bingkai sistem yang sentralistis. Akhirnya persoalan-persoalan yang akan diurus pun jangkauannya sangat luas yang berdampak pada langkah-langkah kebijakan yang tidak pernah jelas dan terfokus.

Sistem pendidikan nasional seperti ini jelas sangat berdampak negatif bagi perkembangan dan keberhasilan pendidikan itu sendiri, pendidikan menjadi terbelenggu, yang seharusnya pendidikan adalah bersifat membebaskan dan mencerahkan. Segala aktivitas, walau pun itu adalah penemuan atau karya yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan, jika dianggap dapat mengganggu “kepentingan negara” maka harus dihentikan. Dampak lebih lanjut dari sistem yang demikian adalah bahwa pendidikan harus berada di dalam koridor yang sudah ditentukan. Konsekuensi logis dari kenyataan ini tentulah akan menimbulkan serentetan permasalahan dalam praksis pendidikan seperti pendidikan menjadi sangat birokratis, pendidikan dikekang oleh peraturan, pendidikan menjadi kehilangan kreativitasnya dan bahkan pendidikan menjadi kehilangan maknanya.

Seiring dengan perubahan zaman, perubahan cara berfikir serta kesadaran dan kedewasaan masyarakat, apalagi dalam era reformasi di gerbang fajar globalisasi yang ditandai dengan kebebasan berpendapat dan berfikir, maka sistem pendidikan nasional Indonesia sudah selayaknya ditinjau kembali dan dirubah disesuaikan dengan tuntutan yang berkembang. Pendidikan Indonesia perlu semangat baru, senjata baru, cara pengucapan kharisma pengubah sejarah yang baru. Pendek kata, pendidikan Indonesia membutuhkan paradigma sistem pendidkan nasional yang baru pula.

Selaras dengan itu pula, masyarakat kita mulai tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan pada sistem pendidikan nasional. Ini dibuktikan dengan munculnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Walaupun pada masa penyusunan dan pengundangan sisdiknas ini menimbulkan pro dan kontra baik dari pihak yang telah merasa bahwa undang-undang ini sudah mencerminkan nilai-nilai bangsa dan paradigma baru pendidikan Indonesia maupun pihak-pihak yang menyatakan bahwa undang-undang ini hanyalah konsep tambal sulam dan pengulangan prinsip-prinsip Sisdiknas yang lama (UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989), tetapi secara substansial, nyatalah bahwa seluruh masyarakat Indonesia sadar bahwa paradigma pendidikan Indonesia memang harus berubah, karena dialah biang keladi keterpurukan pendidikan Indonesia.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah dengan perubahan sisdiknas ini secara otomatis dapat merubah nasib pendidikan bangsa? Jawabnya tentu tidak. Dirivasi dari diundangkannya Sisdiknas yang baru ini tentulah sangat panjang. Artinya bahwa ada sederetan konsekuensi logis yang menjadi “Pekerjaan Rumah” yang juga tidak kalah rumitnya. Bagaimana aturan mainnya? Bagaimana sosialisasinya? Bagaimana implementasinya hingga ke dalam kelas? Seberapa mudah untuk merubah pola sikap dan pola pikir para praktisi, pengelola, birokrasi pendidikan dan masyarakat pada umumnya? Satu contoh yang sangat sederhana untuk mengilustrasikan ini adalah tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang akan dilaksanakan yang merupakan derivasi langsung dari perubahan sisdiknas tersebut. Sudah berapa kali KBK ini berubah-ubah? Ada yang versi Pusat Kurikulum ada yang versi Direktorat dan ada sederetan versi-versi yang lain yang tetap bersikukuh bahwa versi merekalah yang paling benar. Maka tidak heran akhirnya KBK pun diplesetkan menjadi Kurikulum Berbasis Kebingungan, Kurikulum Berbasis Kita-kata (Semau gue). Dan yang lebih memprihatinkan, hingga tulisan ini ditulis, draf kurikulum ini pun belum ditandatangani oleh Menteri Pendidikan Nasional RI.

Contoh lain yang bisa diilustrasikan disini adalah tentang kesiapan penerapan sistem desentralisasi pendidikan. Apakah dengan kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh daerah (kabupaten/kota) yang nantinya diteruskan kepada pihak sekolah dengan dibantu oleh komite sekolah siap untuk melaksanakannya? Sementara sebuah penelitian mengatakan bahwa dari 400 lebih kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hanya sebanyak 38 kabupaten/kota yang siap untuk melaksanakan otonomi daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar