Sabtu, 20 Maret 2010

MENGGAGAS KEMBALI ARAH DAN SASARAN PENDIDIKAN INDONESIA


Satu fenomena yang menarik, ketika anak-anak Indonesia ditanya mengenai keinginan atau cita-citanya kelak dikemudian hari apabila mereka menyelesaikan pendidikan formalnya, kebanyakan mereka menjawab ingin menjadi manusia seutuhnya yang berguna bagi nusa dan bangsa. Jawaban ini sepintas mengandung arti yang sangat luar biasa, satu cita-cita ideal, baik, tulus dan terkesan sangat filosofis. Namun apabila dikaji secara seksama jawaban tersebut sangat tidak jelas, tidak terukur dan mengambang. Apa kriteria “berguna bagi nusa dan bangsa” dan apa kriteria “manusia seuntuhnya”, Tukang kebunkah, tukang batu, tukang jagal sapi, atau tukung penggali kubur?

Ketidakfokusan apa yang diinginkan dan dicita-citakan oleh rata-rata anak didik di Indonesia telah menjadikan mereka tidak pernah betul-betul memahami, menghayati dan mengamalkan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan demi mewujudkan keinginan dan cita-cita mereka tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dari turunan keinginan dan cita-cita yang tidak jelas dalam sistem pendidikan nasional tersebut. Berbeda apabila seorang anak didik yang betul-betul dapat menspesifikasikan keinginan dan cita-cita mereka, seperti cita-cita ingin menjadi dokter, insinyur sipil, ahli hukum dan ekonomi, maka mereka akan menata langkah-langkah, strategi serta persiapan-persiapan untuk melangkah ke sana. Apabila ia ingin menjadi dokter umpamanya, maka ia tentunya akan memilih untuk berkonsenterasi pada mata pelajaran yang mengarah ke sana lebih besar, seperti belajar biologi atau belajar kimia, sehingga mereka lebih terfokus, terarah dan terencana hingga akhirnya mereka memilih jurusan kedokteran pada pendidikan yang lebih lanjut.

Fenomena tersebut di atas adalah salah satu analogi dari ketidakjelasan arah dan sasaran pendidikan di Indonesia. Arah dan sasaran pendidikan Indonesia terlalu luas, sehingga pada tingkat praksis pun menjadi tidak terfokus dan cendrung mengambang. Ini dapat dilihat dalam Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional Indonesia. Akibat dari keinginan untuk mengatur segala sesuatu dari “a” hingga ke “z”-nya pendidkan di Indonesia dalam satu kesamaan dan keseragaman, maka ketika sampai pada tahapan praksisnya justru menjadi tidak terfokus dan tidak jelas, dapat dilihat sebagai salah satu contoh adalah kurikulum nasional yang dikembangkan sekarang. Mata pelajaran banyak yang tidak perlu dan cendrung pada pengulangan-pengulangan yang mubazir serta membuang-buang waktu dan usia peserta didik. Seperti mata pelajaran Pancasila, PSPB, Sejarah Nasional dan Tatanegara yang seharusnya dapat disederhanakan menjadi satu mata pelajaran saja.

Dampak lain dari ketidakjelasan sasaran dan arah pendidikan Indonesia dapat dilihat juga dari program-program pendidikan yang berkembang di masyarakat. Program-program yang dikembangkan tidak mampu untuk mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan zaman, maka wajar saja, apabila ada satu lembaga pendidikan tinggi atau universitas baru, yang dibuka tidak lain adalah Fakultas Ekonomi, Hukum dan Sosial Politik, tidak perduli apakah sudah terjadi ledakan jumlah Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum atau Sarjana Sosial Politik. Dengan kata lain bahwa suatu lembaga pendidikan yang akan dikembangkan jarang dilandasi oleh keinginan untuk membentuk kecendrungan atau trend setter pendidikan.

Seperti yang telah dijelaskan di bab-bab awal di atas, maka jelaslah bahwa dalam kondisi semangat otonomi pendidikan tetaplah membutuhkan adanya satu sitem pendidikan nasional, tetapi sistem tersebut tidak lagi diterjemahkan sebagai satu sistem yang menjangkau semua unsur pendidikan hingga menyentuh ke tingkat praksis pendidikan. Dalam era desentralisasi pendidikan di mana pelaksanaan proses pendidikan sangat tergantung pada daerah, maka disyaratkan kembali bagi adanya arah dan sasaran pendidikan Indonesia. Arah dan sasaran pendidikan Indonesia harus mengacu pada fakta bahwa dunia sekarang sudah menjadi global village yang diiringi perkembangan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan fakta bahwa perlunya untuk menggali potensi lokal yang spesifik sebagai nilai jual dan senjata unggulan dalam mengantisipasi kemungkinan dampak-dampak negatif dari kancah persaingan kehidupan umat manusia yang semakin ganas mensyaratkan untuk perlunya menata kembali arah dan sasaran pendidikan nasional.


Perumusan dan Pelaksanaan Strategi Pembangunan Pendidikan

Berbicara mengenai strategi pembangunan pendidikan, tidaklah dapat dilepaskan dari apa yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri. Pengalaman sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia adalah ketidakfokusan dalam perumusan tujuan pendidikan nasional yang merupakan dampak langsung dari sistem pendidikan nasional yang tidak jelas. Artinya, ketika sistem pendidikan nasional tidak memberikan dasar yang jelas, maka segala turunan dari sistem tersebut, baik tujuan, sasaran, strategi hingga ke implementasi di dalam kelas pun menjadi tidak jelas.

Perumusan mengenai strategi pembangunan pendidikan nasional barulah dapat dilakukan dengan baik, apabila telah dapat dirumuskan secara jelas apa yang menjadi tujuan pendidikan yang akan dikembangkan di suatu negara, karena pada hakikatnya strategi adalah suatu cara yang dilakukan secara sadar dan aktif, sehingga hasil dari pada strategi tersebut dapat diprakirakan pada saat pelaksanaan strategi.

Melihat kegagalan proses pendidikan di Indonesia, maka perlu untuk merumuskan strategi pembangunan pendidikan Indonesia secara menyeluruh. Strategi ini juga harus disesuaikan dengan agenda dan langkah-langkah reformasi pendidikan yang akan dilaksanakan dengan tiga bentuk strategi. Pertama, adalah strategi dalam bentuk eksponensial, yaitu strategi yang terus menerus meningkat seperti deret ukur, di mana strategi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan faktor strategi tertentu secara dinamis guna memperoleh kinerja secara maksimal. Ini dianggap perlu, mengingat pada saat ini seluruh lapisan masyarakat harus mengerahkan segenap daya dan usaha untuk mencapai suatu kinerja unggul di tengah permasalahan-permasalahan pendidikan Indonesia yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kedua, adalah strategi dalam bentuk linear yaitu bentuk peningkatan strategi secara terus menerus dalam jumlah yang tetap, agar diperoleh kinerja yang optimal. Ketiga, adalah strategi yang diterapkan pada tahap “kedewasaan”, yaitu dilakukan secara terus menerus dalam tambahan aktivitas yang jumlahnya terus menurun.

Jadi nyatalah bahwa perumusan dan pelaksanaan strategi pembangunan pendidikan di Indonesia harus disesuaikan dengan tahap perkembangan proses pendidikan di tanah air, dalam hal ini berarti menyangkut strategi yang akan di terapkan pada persoalan-persoalan makro pendidikan yang melibatkan pihak pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, pihak birokrat pendidikan khususnya Departemen Pendidikan Nasional, kemudian strategi yang menyangkut persoalan-persoalan mikro pendidikan yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan, pengelola, kepala sekolah, guru beserta peserta didik. Serta persoalan-persoalan dukungan terhadap persoalan makro dan mikro yaitu meso pendidikan. Di sini berarti peran masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.

Strategi pendidikan, pada akhirnya harus disesuaikan pula dengan tingkat pelaksanaan pendidikan, baik dari tingkat dasar hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Salah satu contoh pemetaan strategi di tingkat dasar adalah bagai mana seharusnya strategi tersebut disesuaikan atau diselaraskan dengan hakikat dan tujuan pendidikan pada tingkat dasar, yaitu utamanya pada pembentukan mental peserta didik. Di sini haruslah pendidikan disesuaikan dengan tahapan perkembangan psikologi anak. Pada usia ini maka materi pelajaran pun harus bersifat konkrit dan faktual.

Pendidikan sebagai tumpuan pembentukan mental peserta didik, semestinya didisain agar pendidikan selaras dengan kebutuhan peserta didik atau sesuai dengan perkembangan kejiwaannya. Dengan demikian ketika ditetapkan adanya konsep pendidikan dasar, maka pengertiannya haruslah mengacu pada pengertian bahwa pendidikan dasar merupakan fondasi bagi prinsip belajar seumur hidup. Sehingga aspek terpenting dari penyelenggaraan pendidikan dasar lebih mempertimbangkan sebagai tugas untuk membangun fondasi karakter individu peserta didik. Karena itu menu pendidikan dasar selain harus mempertimbangkan aspek psikologis perkembangan peserta didik juga harus didampingi oleh tenaga pendidik yang berkarakter dan mempunyai keluasan pandangan dan wawasan terhadap pembentukan mental peserta didik.

Sayang sekali bahwa kenyataan di Indonesia, dengan mengabaikan faktor-faktor yang kerap menjadi kambing hitam, misalnya dengan beralasan karena kurangnya tenaga pendidik atau biaya dan lain-lain, sampai saat ini tenaga pengajar dan menu pendidikan didisain dengan berbagai kekurangan yang bersifat fundamental. Guru pendidikan dasar misalnya cukup dengan pengetahuan yang sangat terbatas setingkat SMU atau kini ditambah dengan program Diploma Dua atau D II. Kerangka dan pola pikir mereka umumnya didasarkan pada pertimbangan bahwa yang namanya guru di Sekolah Dasar tugasnya adalah memperkenalkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat, kemudian bagaimana cara membaca dan menghitung, dan pucaknya bagaimana menghafal. Barangkali sedikit dari tenaga pendidik di tingkat pendidikan dasar dengan bahasa yang dipahami oleh peserta didik memberikan wawasan bagi pembentukan mental sehingga seorang anak tumbuh dengan semangat yang kreatif dan memiliki impian yang ingin diraihnya di masa depan. Sehingga di saat awal-awal belajar ia sudah tahu apa yang ingin dilakukan sesudah ia tamat belajar dan sekaligus bisa menentukan sekolah apa yang akan dipilihnya kemudian.

Pada tingkat lanjutan, baik lanjutan pertama atau lanjutan tingkat atas, atau kini yang lazim disebut SLTP dan SMU masalah yang dihadapi juga tidak jauh dari kenyataan yang menunjukkan bahwa peserta didik tidak dengan mudah menemukan bentuk atau model yang tepat bagi dirinya sendiri. Mayoritas peserta didik masih meraba-raba apakah pengajaran dan pendidikan yang mereka terima telah cocok dan sesuai dengan kebutuhan dirinya atau tidak. Kesulitan peserta didik untuk memaknai apakah mata pelajaran dan bentuk pengajaran sesuai dengan kebutuhan dan memberi harapan bagi masa depannya telah membawa sebuah akibat yang tidak sederhana. Jika peserta didik merasa bahwa bangku sekolahnya tidak sesuai dengan kebutuhannya atau merasa tidak puas sehingga ia merasa tidak begitu penting dengan bangku sekolahnya, maka akan muncul sejumlah penyimpangan akibat ketidakpuasan, diantaranya mengakibatkan sikap-sikap yang tidak rasional seperti munculnya tawuran antar pelajar, pemerkosaan, pencurian dan tindakan kriminal lain yang tidak mencerminkan sikap masyarakat terdidik. Fenomena penyimpangan sosial dalam dunia pendidikan yang demikian merupakan produk dari sistem pendidikan yang tidak berhasil menangkap kebutuhan peserta didik. Jalan keluar untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini harus dibenahi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, perlunya penekanan pada pembentukan SDM yang berwatak, berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, berwawasan jauh ke depan, mempunyai integritas dan kemandirian, serta mempunyai kecakapan dan keterampilan mental untuk belajar sepanjang hayat. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang memberdayakan peserta didik dalam pengertian kecerdasan dan keterampilan, melainkan program pendidikan juga menyadarkan tentang pentingnya menjaga moralitas dan meningkatkan kemampuan pertimbangan rasional dalam pengambilan keputusan. Fenomena munculnya pelajar dengan sentuhan narkotika, kebebasan seksual dan kriminalitas lainnya, merupakan fenomena yang harus diatasi sebagai bagian dari tanggungjawab lembaga pendidikan.

Kedua, program pendidikan perlu melibatkan peranan keluarga peserta didik, diantaranya dengan melakukan hubungan komunikasi antara orang tua peserta didik dengan lembaga pendidikan terkait. Komunikasi ini sangatlah diperlukan dengan tujuan tidak hanya untuk memperhatikan rasa tanggungjawab lembaga pendidikan dengan pihak orang tua terkait, melainkan untuk saling melibatkan antar kedua belah pihak sebagai komponen yang sama-sama memiliki tanggungjawab bagi kesuksesan peserta didik.

Ketiga, menyadarkan bahwa kesuksesan program pendidikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana siswa belajar. Fokus utama yang paling berpengaruh di tempat belajar adalah guru, oleh karena itu guru merupakan sasaran perioritas pendidikan dan pembinaan yang sekaligus berperan sebagai contoh pembaharuan pertama.

Keempat, menyadari bahwa pendidikan berkelanjutan merupakan pendidikan yang dalam jangka panjang berusaha mempersiapkan peserta didik untuk masa depannya dengan berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya, maka perlu dirumuskan bersama visi dan misi pendidikan masa depan, dan dijabarkan dalam arah dan kebijakan untuk masing-masing pelaku. Pola ini akan menumbuhkan semangat profesionalisme dalam pengajaran dan pengembangan pendidikan.

Kelima, kecakapan seorang pendidik sangat dipengaruhi oleh visi dan wawasan masa depan. Untuk memperkuat visi dan wawasan masa depan mengharuskan guru atau sekolah untuk dilengkapi dengan buku dan media atau bahan belajar lain yang memadai.

Keenam, untuk meningkatkan daya serap dan daya imajinasi peserta didik, perlu ditimbulkan dan dirangsang kegiatan gemar membaca. Kebiasaan gemar membaca tidak hanya berpengaruh secara individual tetapi sangat berpengaruh luas dalam komunitas masyarakat diantaranya penerbitan akan berkembang, proses penterjemahan akan terus tumbuh dan minat masyarakat untuk menulis semakin tinggi. Akhirnya kecerdasan warga negara semakin meningkat.

Ketujuh, perlu disadari sepenuhnya bahwa hak belajar merupakan hak setiap manusia, maka perlu diberikan perhatian khusus kepada anak-anak yang mengalami hambatan sosial, ekonomi dan geografi dengan mendayagunakan sarana dan teknologi yang ada termasuk peningkatan program beasiswa, sehingga mereka tetap mendapatkan haknya untuk belajar.

Kedelapan, perlu manata kembali tentang isi muatan pembelajaran pada semua jenjang pendidikan dengan menggunakan prinsip bahwa pendidikan dasar (SD dan SMP) haruslah bersifat wajib, pada jenjang Menengah harus diarahkan dan pada jenjang perguruan tinggi harus disarankan. Lebih jauh dari itu visi, misi dan tujuan pendidikan di Indonesia juga harus mempertimbangkan kecendrungan peserta didik yang ingin langsung terjun ke masyarakat dan bukan hanya diorientasikan kepada pendidikan yang lebih lanjut. Di sini berarti perlu adanya kurikulum pendidikan yang lebih kondusif agar tujuan tersebut dapat dicapai.

Pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu universitas atau perguruan tinggi, strategi harus disesuaikan dengan hakikat dari pendidikan tinggi tersebut. Dalam era globalisasi seperti sekarang, perguruan tinggi di negara-negara berkembang harus diarahkan kepada pusat penelitian. Sayangnya, hingga pada saat sekarang, realisasi universitas sebagai pusat penelitian tidak didukung oleh para politisi sebagai pengambil keputusan. Hatakenaka, seorang konsultan pendidikan dalam satu diskusi panel tanggal 16 Agustus 2001 yang bertema International Conference Higher Education Reform 2001, sebagaimana yang dikutip oleh Harian Kompas tanggal 18 Agustus 2001, mengatakan…

…tidak mudah bagi perguruan tinggi di negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan penguasaan pengetahuan dan teknologi yang sudah lebih dahulu dikuasai negara maju. Untuk itu, harus ada strategi yang cukup luar biasa dari pemimpin perguruan tinggi untuk menjadikan universitas sebagai pusat penelitian.

Ketidakmudahan upaya perguruan tinggi di negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam mengejar ketertinggalannya sering di hadapkan pada banyaknya kendala. Kendala terbesar, menurut Quentin Thompson adalah menyangkut masalah finansial. Keterbatasan anggaran nasional yang dimiliki sering menjadi alasan untuk memberikan anggaran yang kecil pada pendidikan, padahal anggaran pendidikan dan pelayanan sosial lainnya seharusnya mendapatkan perioritas pertama. Belum lagi dengan adanya kebijakan otonomi kampus, di mana kampus sekarang dituntut untuk dapat menghidupi dirinya sendiri, jangankan untuk aktivitas riset, untuk menjaga keberlangsungan hidup perguruan tinggi itu sendiri pun menjadi pertanyaan besar.

Dari kendala-kendala di atas, sudah selayaknya bahwa strategi yang mampu membangkitkan semangat masyarakat guna mendukung dana pendidikan harus dimiliki oleh pemerintah dan perguruan tinggi. Selain itu, pemerintah sudah selayaknya berkepentingan untuk menyediakan dana yang memadai bagi pendidikan. Dukungan yang besar dari masyarakat terhadap pemerintah akan besar sekali apabila mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang seperti ini, tentulah sangat dibutuhkan bagi kemajuan negara.


Fokus Tujuan, Isi dan Penilaian Program Pendidikan

Satu ilustrasi tentang seorang anak yang ditanya soal cita-citanya dan menjawab ingin mengabdi kepada negara dan bangsa, merupakan contoh yang serupa untuk menggambarkan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Keduanya, antara jawaban anak –anak Indonesia dan tujuan pendidikan nasional tersebut memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bias atau samar, tidak terukur dan tidak terfokus. Kurang terfokusnya rumusan tujuan pendidikan tersebut dan tidak jelasnya indikator pemenuhan tujuan tersebut, yang mengakibatkan isi dan penilaian menjadi kurang relevan dan tidak dapat dipercaya. Tujuan pendidikan harus kembali dievaluasi agar tujuannya terfokus dan terukur, sehingga setiap individu yang belajar tahu tujuan yang ingin dicapainya.

Dapat dicontohkan di sini, lembaga pendidikan yang didirikan oleh sebuah perusahaan, tujuan pendidikannya jelas, yakni menyiapkan tenaga ahli untuk kebutuhan perusahaan atau, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Departemen Pertahan dan Keamanan Nasional tentulah memiliki tujuan untuk mencetak kader-kader yang berjiwa militer dan sebagainya. Jika istilah perusahaan atau Dephankam diganti dengan negara dan lembaga pendidikan seluruhnya merupakan komponen negara, maka seharusnya tujuan utama lembaga pendidikan adalah melayani kebutuhan negara. Kebutuhan negara dapat dipahami dengan baik jika tujuan negara juga dapat dirumuskan dengan jelas dan terfokus. Misalnya jika negara mempersiapkan dirinya untuk menjadi negara industri, maka semua komponen lembaga pendidikan negara diarahkan untuk mendukung tujuan negara yakni peserta didik difokuskan untuk memahami kebutuhan negara industri. Jika tujuan negara untuk menciptakan masyarakat madani, yang ditandai dengan perilaku moralitas yang tinggi dan menjunjung peradaban, harkat serta martabat kemanusiaannya, maka lembaga pendidikan akan di arahkan untuk memahami komponen-komponen kebutuhan masyarakat madani. Demikian seterusnya sehingga implementasi penetapan tujuan pendidikan menjadi lebih terarah.

Hingga saat sekarang, sayangnya, tujuan pendidikan masih bias dan tidak terfokus. Hal ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia tidak memiliki muatan khusus dan karakter yang khas. Sistem pendidikan begitu saja berjalan seolah-olah samar dengan apa yang hendak dituju. Inilah yang membawa mengapa pendidikan di Indonesia untuk sekian tahun lamanya tidak memberikan perkembangan yang berarti.

Melihat kenyataan di atas, dengan sebuah asumsi bahwa kecendrungan tujuan negara Indonesia hendak membangun masyarakat madani, maka turunan dari upaya untuk mencapai tujuan tersebut, dirumuskan langkah-langkah pembenahannya yaitu:

Pertama, bahwa untuk mencapai pendidikan yang berwawasan madani, maka fokus program pendidikan perlu diletakkan pada pembentukan dan pembinaan watak, budi pekerti luhur, keimanan dan ketakwaan, kemampuan aktualisasi diri, serta pengembangan integritas, kemandirian dan profesionalisme peserta didik.

Kedua, tujuan sekolah untuk mendapatkan ijazah melalui sistem Ebtanas kuranglah tepat karena sistem itu tidak menilai sikap, watak, kemandirian dan kreatifitas.

Ketiga, selama ini aspek psikologis anak, baik daya juang dan semangat kreatifitasnya tidak memiliki indikator pengujian dan penilaian yang jelas, tidak seperti indikator untuk tes hafalan atau hitungan. Oleh karena itu perlu dijabarkan secara operasional mengenai indikator nilai dan watak, serta dikembangkannya materi belajar di sekitar indikator tersebut.

Keempat, perlu dipertimbangkannya penyusunan materi pelajaran yang bersifat integratif da tidak terkotak-kotak dalam mata pelajaran.

Kelima, dalam pelaksanaan ujian, mata pelajaran perlu dikaji ulang seperti pelaksanaan ebtanas baik sistem maupun penyelenggaraannya. Dalam hal ini perlu diidentifikasikan alternatif lain yang diperlukan guna mengendalikan mutu pendidikan, dengan menghindari sentralisme yang berlebihan termasuk mengurangi unsur korupsi dalam penyelenggaraan tes.


Mengembalikan Fitrah Dunia Pendidikan

Hakikat pembangunan bangsa adalah tidak lain dari pada mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan manusianya. Sejarah Indonesia baru saja membuktikan bahwa ternyata kekayaan alam tidak juga membawa kemakmuran global, kekayaan budaya dan kelimpahan penduduk tidak membawa kekuatan pengubah dan keberagaman, dan lebih jauh lagi bahwa karunia yang telah diberikan Tuhan terhadap bangsa ini ternyata tidak mendorong semangat untuk penggubah.

Guna mewujudkan hakikat pembangunan di atas, perlu kiranya untuk menerapkan dan memanfaatkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kata kunci untuk keberhasilan pembangunan di masa datang adalah peningkatan kualitas manusia yang pada akhirnya dapat memperkuat daya saing ekonomi secara global, meningkatkan prokduktivitas, mempertinggi nilai tambah dan membuka peluang lapangan kerja baru.

Untuk itu maka diperlukan ‘senjata’ baru, yaitu ilmu dan teknologi, semangat inovasi, daya etos serta etis. Bangsa ini perlu “ladang-ladang” subur di mana anak bangsa dapat disemai sebagai manusia baru Indonesia. Ini berarti perlunya untuk menciptakan lingkungan-lingkungan pendidikan sebagai pusat budaya dan peradaban dengan dukungan sumberdaya manusia yang berjaminan mutu serta standar yang tinggi dalam sarana fisik, akademik dan manajemen.

Dunia pendidkan Indonesia harus mampu merespon tantangan perkembangan bangsa di masa depan, menawarkan alternatif dan menjanjikan keunggulan. Dunia pendidikan, khususnya pada tingkat tinggi harus mampu menciptakan daya terobos dalam aktivitas riset yang langsung berguna bagi kehidupan pembangunan serta kemampuan enterpreneurship, disertai pembatasan program studi atau kurikulum secara selektif mengikuti trend perkembangan di dalam daya pandu etika-keagamaan dan semangat emansipasi yang terintegrasi ke dalam pengembangan dan aplikasi keilmuan.

Untuk mengembangkan pendidikan di masa depan, maka perlu mencerahkan terlebih dahulu tentang fitrah pendidikan yaitu:

Pertama, fitrah pendidikan haruslah secara sinegris merefleksikan jatidirinya sebagai institusi pendidikan, penelitian dan pelayanan yang bermutu, kredibel, relevan, berwawasan etis, estetis dan manusiawi, maka lembaga pendidikan harus merespon terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta mengintergrasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari dengan etika-keagamaan, mengupayakan inovasi pendidikan, menjunjungtinggi kualitas, kemadirian, membangun organisasi secara terencana dan responsible, mengembangkan semangat kerjasama.

Kedua, lembaga pendidikan harus memiliki misi luhur untuk turut memecahkan permasalahan-permasalahan kemanusiaa dengan cara meningkatkan kualitas fikir, kualitas karya, kualitas hidup, serta meningkatkan peranan ilmu dan teknologi guna menjawab tantangan zaman yang berubah yang kemudian dapat meningkatkan kualitas manusia yang berbasis pada etika.

Ketiga, lembaga pendidikan haruslah berusaha secara terus menerus untuk menghasilkan keluaran yang memilik kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar, ketangkasan profesional dan kemandirian sikap juang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar