Sabtu, 20 Maret 2010

MEWUJUDKAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN INDONESIA


Keberhasilan memperbaiki dan memperbaharui sektor pendidikan akan menentukan keberhasilan bangsa ini dalam menghadapi tantangan masa depan. Pembaharuan ini harus dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk keluarga, sektor swasta, politisi, dan pemerintah. Pendidikan adalah wahana yang memungkinkan suatu bangsa survive dalam perjalanan sejarahnya. Pendidikan haruslah menjadi perioritas utama bangsa. Pendidikan merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar bangsa ini dapat menjadi bangsa yang bermartabat dan mampu bersaing dalam kancah kehidupan yang luas. Dalam lintasan sejarah telah menunjukkan, betapa negara yang tidak memperdulikan pendidikan dan keliru dalam memilih sistem pendidikan yang dijalankan, walaupun telah puluhan bahkan ratusan tahun merdeka, tetapi tetap saja berstatus sebagai negara berkembang atau bahkan terkebelakang.

Dalam menghadapi perkembangan kehidupan yang begitu cepat berubah akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengharuskan adanya suatu sistem pendidikan nasional yang mampu mengakomodasi peserta didik agar terus-menerus dapat memperbaharui pengetahuannya. Untuk itu, pada saat ini tidaklah memungkinkan lagi untuk tetap mempertahankan cara belajar lama karena derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Negara yang berhasil menyusun sistem pendidikannya dengan baik, akan memiliki keunggulan-keunggulan penting. Ini dikarenakan hampir di seluruh lini kehidupan bernegara, apa pun dan siapa pun yang berperan di dalamnya, baik berupa institusi maupun prilaku individualnya, mulai dari ekonom, negarawan, guru, politisi, industriawan bahkan olahragawan ataupun seniman, semuanya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem pendidikannya. Lebih dari itu eksistensi sebuah negara sangat bergantung pula dari kebijakan, pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan dari para tokoh yang ada di dalam negara yang bersangkutan. Ketajaman pemikiran, keluasan pandangan serta keakuratan kebijakan tersebut pada akhirnya juga bermuara pada kualitas sistem pendidikan yang berlaku di negara bersangkutan. Sebuah negara yang kuat dan disegani dalam kancah pergaulan antar bangsa-bangsa adalah hasil dari begitu besarnya perhatian mereka terhadap dunia pendidikan yang mereka laksanakan. Sebaliknya, negara yang dengan tidak serius, sembarangan, asal jadi dan tumpang tindih dalam merancang sistem pendidikannya, telah menciptakan bumerang atau titik balik penghacuran sendi kehidupan bernegara. Sebuah negara yang dipenuhi oleh tindakan korup, pemerintahan yang gelap mata, serta lahirnya masyarakat yang apatis dan anarkis adalah salah satu produk sistem pendidikan yang menyimpang.

Bukti sejarah sistem pendidikan nasional Indonesia yang berkembang selama 32 tahun, tantangan-tantangan zaman yang dirasakan, pergeseran-pergeseran pola kehidupan yang ada, perkembangan-perkembangan pemikiran, mengharuskan bagi adanya paradigma baru pendidikan Indonesia.


Memahami Kemerdekaan Pendidikan dengan Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang no.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang dibuat dalam rangka menterjemahkan maksud dari UUD 1945 sudah selayaknya tidak diterjemahkan lagi sebagai “satu” dalam segala-galanya. Pengalaman sejarah proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih mewujudkan sistem pendidikan nasional ke dalam bentuk sentralisasi pendidikan dan uniformitas atau penyeragaman pendidikan. Dampak dari penterjemahan sistem pendidikan yang seperti ini telah mamatikan daya kreasi, inovasi serta kebebasan pendidikan di Indonesia, dan bahkan telah meletakkan pendidikan Indonesia pada kondisi keterpurukan yang sangat serius. Keterpurukan pendidikan Indonesia ini dapat dilihat dari peringkat Human Development Index (UNDP; 2000), di mana kondisi Indonesia berada di peringkat ke 109 di bawah Vietnam (108), Cina (99), Sri Langka (84), Filipina (77), Thailand (76), Malaysia (61), dan Singapura (24). Maka wajarlah apabila bangsa ini bulum juga mampu untuk ke luar dari kemelut krisis multidimensi.

Kesalahan menterjemahkan dan menerapkan sistem pendidikan tersebut ternyata harus dibayar mahal oleh bangsa dan negara Indonesia. Ini pun telah membuktikan bahwa apabila suatu sitem dirancang atau diarahkan sebagai usaha penyeragaman dan terpusat demi kepentingan-kepentingan tertentu, maka akan menghasilkan kemunduran dan kehancuran. Sistem pendidikan nasional seharusnya diterjemahkan sebagai suatu sistem pendidikan yang mengatur aturan umum, yaitu yang sifatnya makro, dan sistem yang mengatur aturan mikro yang sifatnya kondisional yang disesuaikan pada kondisi geografis, sosial budaya dan kesiapan struktur dan infrastruktur tiap-tiap daerah dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain bahwa sistem pendidikan yang bersifat makro ditetapkan secara nasional, dan sistem pendidikan yang bersifat mikro ditetapkan secara lokal sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran dan lingkungan pendidikan. Artinya bahwa dalam satu sistem pendidikan nasional tersebut mencakup unsur otonomi pendidikan.

Akibat dari diterapkan sistem pendidikan yang bersifat sentralistis dan mengutamakan keseragaman dalam tataran makro telah membelenggu pendidikan Indonesia. Pemerintah Indonesia pun menterjemahkan “satu sistem” pendidikan nasional yang terlalu berlebihan. Ini dapat di lihat dalam Undang-undang no. 2 tahun 1989 yang bukan hanya terbatas pada nilai dasar dan instrumentalnya, melainkan juga sampai pada tingkat praksis pendidikan.

Kebijakan-kebijakan seperti yang tersebut di atas, telah menjadikan pendidikan di Indonesia terkungkung oleh “juklak” dan “juknis”, walaupun itu tidak sesuai dengan situasi dan kondisi tempat atau daerah di mana pendididkan itu berlangsung. Institusi pendidikan terjerat, praktisi pendidikan terjerat, guru terjerat, yang pada akhirnya semua tidak dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa dan lingkungan pendidikan masing-masing. Dampak yang paling signifikan adalah peserta didik yang menjadi korbannya. Siswa akhirnya tidak dapat mengikuti pendidikan dengan senang dan bergairah karena proses belajar dan mengajar tidak sesuai dengan kepentingan dan kemauan mereka, justru hal sebaliknya, mereka dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang berada di luar konteks kepentingan dan kebutuhan mereka sehari-hari. Meminjam istilah Prof. Djohar, salah seorang Dewan Pakar pada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa Mandiri Yogyakarta, “mereka hanya diajak menjadi makelar-makelar pengetahuan tekstual”. Dengan kata lain siswa-siswa tidak diarahkan untuk mempelajari hal-hal yang nyata yang ada di lingkungan mereka dan masyarakat mereka. Akhirnya mereka tercetak sebagai manusia-manusia yang terlepas dari realitas lingkungannya, lepas dari kondisi nyata masyarakatnya.

Sistem pendidikan yang menekankan pada sentralitas dan penyeragaman ini pula yang menurut Prof. Djohar akan melahirkan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang melangit, mengambang tanpa pijakan nyata. Lebih lanjut Prof. Djohar mengatakan…

…bahkan tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah tidak membumi, sementara anak-anak peserta didik tidak merasakan adanya keanekaragaman di dalam kehidupan mereka.

Dalam tataran ini, pendidikan yang berkembang menjadi tidak bermakna dan bermanfaat, tidak memiliki nilai transformatif apa pun, karena tidak menjadikan anak-anak peserta didik lebih mengenal lingkungan masyarakatnya sendiri, lingkungan alam, keadaan geografis di mana mereka hidup, sejarah masyarakatnya, yang pada akhirnya tidak akan menumbuhkan rasa persatuan dengan masyarakat dan lingkungannya, cinta tanah air atau pun cinta bangsa dan negaranya. Pendidikan semacam ini lebih memperbesar kecendrungan kepada anak-anak peserta didik menjadi lebih egeoistik dan anti sosial yang merupakan titik pangkal semangat disintegrasi bangsa dan anarkhisme dalam kehidupan mereka. Satu contoh gejala awal yang dapat dirasakan dan dilihat adalah tradisi tawuran yang terus berkembang di dalam kehidupan anak-anak pelajar dewasa ini.

Kegagalan dalam menterjemahkan dan menerapkan nilai-nilai dasar pendidikan yang berasal dari nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 ke dalam penjabaran nilai-nilai instrumental, telah menjadikan UU No. 2 tahun 1989 tidak mengatur tentang sistem pendidikan nasional yang sesungguhnya, akan tetapi hanya mengatur sistem persekolahan yang sangat detil yang tidak hanya terbatas pada tataran nilai dasar dan instrumental, tetapi lebih jauh juga menyentuh samapai ke tingkat praksis pendidikan.

Makna satu sistem pendidikan nasional pada sistem persekolahan seharusnya hanya sebatas pada (1) satunya jenis dan (2) satu jenjang pendidikan nasional, seandainya satu sistem itu menjangkau ke tingkat kurikulum, maka seharusnya hanya sebatas kurikulum yang memberikan tuntutan kepentingan nasional, misalnya isyarat perlunya kurikulum yang membangun kesatuan dan persatuan bangsa yakni (1) Pancasila (2) Kewarganegaraan, dan (3) Agama yang menjadi landasan perilaku manusia umumnya. Sedangkan otonomi pendidikan di tingkat praksis diserahkan sepenuhnya kepada daerah, sekolah atau wilayah tertentu untuk mengaturnya. Penyelenggaraan pendidikan di tingkat praksis harus bersifat realistik, dengan memperhatikan lingkungan objektifnya dari sasaran dan institusi pendidikan masing-masing.

Di tengah kegalauan tentang paradigma pendidikan di tanah air, berhembuslah angin yang cukup segar. Sistem pendidikan yang bersifat sentralistik akhirnya dirubah dengan sistem pendidikan yang desentralistik. Secara hakiki system pendidikan desentralistik adalah pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan ke tingkat daerah (kabupaten/kota) dengan prinsip “Keseragaman dalam kebijakan dan keberagaman dalam pengelolaan”. Pada awalnya prinsip ini cukup melegakan, betapa tidak, akhirnya masyarakat kita memahami bahwa pengelolaan pendidikan idealnya dilakukan oleh daerah di mana proses pendidikan itu berjalan. Artinya bahwa pengelolaan pendidikan serta muatan dan proses pembelajaran haruslah disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah itu berada. Tetapi sayangnya, wewenang ini hanya dipahami secara normative-verbal saja. Pada kenyataannya kebijakan ini hanya indah untuk didengar tetapi tidak untuk dilakukan. Sistem pendidikan yang desentralistik masih dilakukan dengan setengah hati dan ambigu. Ada kesan bahwa pusat belum ihklas untuk melakukan system pendidikan yang desentralistis secara murni dan konsekuen. Ini dapat dilihat dari aturan-aturan main (regulasi/kebijakan) yang tidak jelas dan cendrung membingungkan. Contoh yang sederhana dapat dilihat dari kebijakan penerapan kurikulum 2004 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompentensi yang belum juga disahkan. Ujian-ujian akhir nasional yang harus diseragamkan dari pusat setiap tahunnya (walau ini masih kontroversi). Belum lagi pengadaan-pengadaan Buku Pelejaran yang harus ikut “petunjuk” pusat dengan pusat perbukuannya. Label “halal dan haram” seolah-olah masih saja diberlakukan, sehingga guru-guru pun masih terpasung untuk menunggu label yang dibuat oleh orang pusat ini. Di satu sisi, para praktisi dan pengelola pendidikan juga masih “berbudaya” lama, masih menunggu juklak dan juknis. Walaupun telah ada dasar pijakan untuk melangkah seperti Sistem pendidikan yang desentralistik, Kurikulum Berbasis Kompetensi, broad based education, school based management dan sebagainya, tetapi tetap saja mereka masih menunggu dan ragu untuk melangkah. Ini mungkin bisa dipahami karena merubah budaya yang sudah mengakar lebih dari tiga dasawarsa tentulah tidak mudah.

Dari latar belakang tersebut, maka tidak ada upaya lain untuk segera melakukan langkah-langkah strategis guna mengantisipasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, karena apabila ini terjadi tentulah perubahan paradigma pendidikan dan perubahan sisdiknas apapun tidak akan memiliki dampak apa-apa bagi perkembangan pendidikan di tanah air. Yang harus dilakukan pada awal-awal ini adalah pensosialisasian yang secara terus menerus. Ini tentunya juga butuh suatu treatment tersendiri yang perlu didekati dalam “satu tarikan nafas” atau Simultansi Rekulturisasi berdasarkan materi terpadu. Secara konkrit treatment ini dapat berupa pelatihan-pelatihan, workshop serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pusat yang terus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Daerah, Sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan masyarakat luas tentunya sehingga pemahaman akan arti pentingnya “kemerdekaan” dalam pendidikan tidak disalahkaprahkan karena munculnya wacana otonomi daerah yang salah satu derivasinya adalah penerapan otonomi pendidikan harus segera “ditangkap” sebagai momentum untuk memulai perubahan.


Menata Kembali Tujuan Global Pendidikan

Dihadapkan dengan tuntutan dunia yang kini mulai berubah dari era yang semula serba tertutup dan terbatas, baik karena batas wilayah geografis, ideologis bahkan hukum-hukum kenegaraan yang mengatur aturan main komunikasi para warganya menuju satu era yang kini lazim dikenal dengan era bebas komunikasi, era gerakan kemanusiaan global, era transformasi internasional atau bahkan dimensi geografis antar bangsa kini dianggap sebagai satu global village, kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia belum juga menunjukkan sinyal yang berarti bagi penguatan lembaga-lembaga pendidikan, bahkan pada awal milenium ketiga ini.

Perkembangan di dalam teknologi dan informasi telah menjadikan komunikasi antar negara semakin terbuka, bila pada masa sebelumnya kesempatan ini hanya dapat dilakukan oleh sebagian orang terpenting saja di dalam suatu negara, maka pada saat sekarang individu warga suatu negara juga sudah memiliki kebebasan dan kemudahan untuk saling mengenal dan berkomunikasi dengan sesama manusia yang berada di negara lain dengan tidak memandang latar belakang apa pun dari individu warga negara tersebut.

Dalam dunia pendidikan, kemajuan yang terpenting di bidang teknologi telah memungkinkan diskusi jarak jauh, belajar jarak jauh atau bimbingan jarak jauh dengan salah satu pengajar atau pakar yang ada di satu wilayah atau negara dengan pihak-pihak yang membutuhkannya di wilayah lain. Gejala munculnya kelas-kelas virtual dengan dibantu dengan sistem multimedia canggih ini menunjukkan betapa pada masa yang akan datang, lembaga pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi khususnya bidang informasi. Dengan kata lain lembaga-lembaga pendidikan masa depan tidak akan memiliki kemajuan-kemajuan yang berarti dalam dunia pendidikan bila institusi atau lembaga pendidikan tersebut tidak mendekatkan diri dengan fenomena global. Oleh karena itu, dunia pendidikan Indonesia sudah harus diorientasikan dengan suatu visi global agar memiliki tempat di masa kini dan masa depan.

Perkembangan pendidikan di negara-negara tetangga khususnya di Asia, sudah mempersiapkan hal ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu, katakanlah seperti di negara Malaysia dengan Telekom Smart Schoolnya dan Singapura dengan Multimedia Development Centernya yang mengembangkan fasilitas pendukung atau suport di dunia pendidikan dengan mendirikan broadband dan backbone yaitu pusat layanan informasi dan data multimedia ke sekolah-sekolah. Program seperti ini sangat di dukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Di samping didukung penuh oleh pemerintah, pihak swasta pun sangat besar peran sertanya, katakanlah seperti di Malaysia, program ini didukung lebih dari sebelas perusahaan raksasa swasta dan nasional yang ada di sana, termasuk Perusahaan Telekomunikasi Malaysia. Sementara di Singapura, keperdulian terhadap perkembangan pendidikan yang dilandasi oleh visi global ini pun telah mengharuskan pemerintah setempat untuk mensubsidi sekolah-sekolah yang berada di negara mereka sebesar $ 2,5 juta atau Rp. 25 milyar pada tahun 1995 lalu setiap sekolahnya. Di samping itu pula mereka mensubsidi secara gratis perangkat komputer guna komputerisasi di sekolah untuk mengantisipasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi di masa depan.

Di Indonesia, memang pernah dirintis walaupun belum sedahsyat negara-negara tetangga di Asia, yaitu pernah didirikannya SMU 2000, tetapi bila dilihat dari kapasitas layanannya sangat jauh tertinggal, karena SMU 2000 hanya melayani jaringan internet ke sekolah-sekolah semata dan sifatnya masih dari pihak swasta saja. Sejauh ini SMU 2000 belum begitu akrab di tengah masyarakat, jangankan di masyarakat umum, dalam tubuh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun kurang populer. Kenyataan ini menunjukkan betapa sesungguhnya masyarakat Indonesia belum sadar betul akan perkembangan teknologi informasi yang sangat berpengaruh pada perkembangan masyarakatnya di masa depan, khususnya dalam dunia pendidikan. Artinya dunia pendidikan kita memang belum memiliki visi global, sehingga arah pendidikan dalam menghadapi perkembangan masa depan belum juga terpetakan. Kondisi dunia pendidikan kita masih diliputi oleh pandangan yang kolot, konservatif protektif. Pandangan yang seperti ini harus segera dibongkar. Di sini diperlukan kesadaran pendidikan yang bersifat terbuka, objektif dan berkompetisi secara sehat serta menempatkan diri sebagai bagian dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di dunia. Dengan demikian maka pola persaingan dan pembenahan pun harus juga mempertimbangkan bagaimana pola dan model pengembangan pendidikan yang terjadi di dunia.

Langkah perdana untuk mempersiapkan lembaga pendidikan dengan visi global ini harus mempertimbangkan sedikitnya lima pokok soal: Pertama, tujuan pendidikan di masa datang perlu memenuhi keinginan, kehendak dan kebutuhan era globalisasi. Kedua, tujuan global pendidikan di Indonesia perlu diarahkan kepada peningkatan penguasaan teknologi dan informasi. Ketiga , tujuan global pendidikan Indonesia harus di arahkan kepada pemahaman masalah ekonomi, politik, bahasa dan budaya yang mendunia. Keempat, tujuan pendidikan global sudah selayaknya di arahkan kepada adanya persaingan ketat tetapi sehat dalam segala bidang antar bangsa-bangsa, Kelima, tujuan pendidikan global Indonesia harus juga diarahkan kepada penguasaan bahasa-bahasa dunia, seperti bahasa Inggris dengan tujuan agar mampu untuk berkiprah di kehidupan internasional. Keenam, tujuan pendidikan global khususnya di bidang perekonomian, perdagangan dan moneter perlu diarahkan kepada pencapaian efektifitas dan efisiensi alat-alat produksi dan jasa yang mendunia yang penuh persaingan dalam era pasar bebas.

Langkah terpenting dalam merumuskan tujuan global pendidikan Indonesia, dari langkah-langkah yang tersebut di atas adalah menciptakan iklim yang kondusif di dalam masyarakat. Langkah ini harus dimulai terlebih dahulu dengan mendesak Departemen Pendidikan Nasional untuk melakukannya, sehingga dalam era desentralisasi pendidikan ini, di mana daerah sangat berperan besar dalam menentukan kebijakan pendidikan tidak menjadi kehilangan arah dan justru menimbulkan dampak sebaliknya. Tujuan global pendidikan adalah diarahkan kepada kesiapan masyarakat peserta didik untuk menghadapi tantangan di masa depan dan bukan sebaliknya justru menjerumuskan masyarakat peserta didik ke jurang yang lebih dalam yaitu kekolotan permanen.

Dalam rangka penyusunan kembali tujuan global pendidikan nasional, hal yang juga perlu dipersiapkan adalah sikap mental bagi para birokrat pendidikan, pengelola, praktisi serta seluruh masyarakat untuk memahami kemudian mendukung tujuan global pendidikan tersebut. Ini tidak lain disebabkan oleh kecendrungan kehidupan global di masa depan lebih kompleks dan rumit. Artinya bahwa keunggulan lembaga pendidikan akan ditentukan keberhasilannya melalui kesiapan untuk berkompetisi. Hal serupa juga pernah diungkapkan oleh Werner Schaal, Wakil Presiden Asosiasi Rektor Jerman (HRK), dalam diskusi panel kedua International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta pada tanggal 16 Agustus yang lalu. Diskusi panel ini juga menampilkan pembicara Anuwar Ali (Vice Chancellor University Kebangsaan Malaysia), Lauritz Holm-Nielsen (Bank Dunia), Quentin Thompson (konsultan), Sachi Hatakenaka (konsultan), Satryo Soemantri Brodjonegoro (Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas), Simon Schartzman (American Institutes for Research, Brasil) dan Thatchai Sumitra (Presiden Chulalongkorn University, Thailand).

Lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, khususnya lembaga perguruan tinggi menghadapi tantangan untuk terus menghasilkan inovasi baru dan kemajuan pengetahuan, karena menurut Schaal bahwa kemajuan teknologi dan pengetahuan yang terjadi di masyarakat kadangkala terjadi lebih cepat daripada perkembangan yang dilakukan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi sebagai pusat penelitian seharusnya dapat memimpin dalam kemajuan teknologi dan pengetahuan. Schaal mengatakan…

…sudah sejak lama disadari perlunya kerjasama dengan dunia industri dan pusat-pusat penelitian, tetapi perguruan tinggi masih sering tertinggal dari kebutuhan pasar tenaga kerja. Padahal, di masa depan knowledge society telah menempatkan pendidikan tinggi sebagai peningkatan basis ekonomi.

Menurut Schaal lebih lanjut, ada tiga keuntungan dari kompetisi tersebut, yaitu (1) kompetisi akan mendorong bagi terjadinya transparansi (2) membuka peluang bagi adanya evaluasi dan penilaian baik kelebihan maupun kelemahannya, dan (3) kompetisi membutuhkan otonomi di bidang pendanaan, akademik dan organisasi. Implikasinya, otonomi juga akan menghasilkan akuntabilitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar