Sabtu, 20 Maret 2010

PEMILU UNTUK INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA


Demokrasi hanyalah untuk orang yang “pintar” dan “kenyang” Bila tujuan demokrasi pada akhirnya untuk kepentingan rakyat, maka pertanyaannya adalah: “rakyat harus sejahtera dahulu atau rakyat paham hakekat demokrasi?
Membaca term of reference seminar Pendidikan Politik Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Yogykarta bekerjasama dengan KPU Daerah Istimewa Yogykarta mensiratkan akan kesadaran tentang pemilu sebagai sebuah mekanisme demokrasi. Mekanisme ini menjadi kunci kemapanan dan kematangan budaya politik demokrasi. Dengan kata lain, kian matang demokrasi kita, kian beradab dan bermutu pula pemilu yang kita selenggarakan. Untuk mematangkan demokrasi tersebut maka diperlukan pula proses pendewasaan demokrasi.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah proses pendewasaan demokrasi ini akan berjalan tuntas hingga mencapai proses kematangannya? Sementara sejarah pun sudah mencatat mulai dari Athena hingga ke era moderen saat ini, belum ada satu orang pun yang puas akan teori-teori dan implementasinya. Amerika, sebuah negara yang dianggap soko guru demokrasi modern sekali pun, oleh Francis Fukuya disebut sudah menjadi rutin dan kehilangan elannya atau yang lebih dikenal sebagai democracy without of chest (demokrasi tanpa semangat).

Mencermati pendapat filosof berkebangsaan Amerika tersebut, tentulah kegelisahan yang muncul terhadap demokrasi di negara kita dapat dipahami; jangan-jangan sebelum kita menikmati proses pendewasaan apalagi kematangan demokrasi, kita malah sudah kehilangan elannya. Di sisi lain bahwa psoses dan seremonial penyelenggaraan pemilu tentulah berkorelasi positif dengan biaya yang besar, sementara itu kita sangat sadar bahwa dengan biaya itu kita harus bisa membeli sesuatu yang lebih berharga bagi bangsa dari pada hanya untuk mengongkosi sebuah "pesta demokrasi". Persoalan ini belum lagi ditambah dengan bagaimakah mewujudkan proses demokrasi ini berjalan dengan aman dan damai dan pada akhirnya dapat melahirkan kader-kader terbaik atau "tercerahkan".

Memahami Hakikat Demokrasi
Lincoln di pemakaman para pahlawan perang saudara Amerika, Gettysburg, Pennsylvania bulan November tanggal 19, tahun 1863 sebagaimana yang diungkapkan oleh Mohamad Mova Al ‘Afghani dalam makalahnya Pemilihan Umum dan Ilusi Demokrasi mengatakan...

...that we here highly resolve that these dead shall not have died in vain; that the nation shall, under God, have a new birth of freedom, and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”

Pada akhir kalimat Lincoln “...government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth” adalah inti dari demokrasi Yunani. Dalam pidato yang sama juga Lincoln mengemukakan elemen-elemen penting dalam demokrasi tersebut di antaranya adalah “all men are created equal”. Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke 6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. Di lapangan polis-polis tersebut, apa yang disebut “people” (warga negara laki-laki) oleh orang Yunani Kuno berkumpul membentuk Assembly dan menetapkan sebuah keputusan. Pengambilan suara secara manual dan langsung (direct democracy) pada abad ke-5 ini melibatkan 300.000 warga, di mana penyelenggara meminta warga Negara yang menyetujui suatu pilihan-- katakanlah “pilihan A”-- untuk pindah ke sisi sebelah kanan. Kadang-kadang, kotak suara juga dipergunakan dalam pemilihan. Demokrasi, bagi mereka, adalah kesejajaran dalam memberikan keputusan.

Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politika ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

Perkembangan Demokrasi
Dengan berjalannya waktu, istilah demokrasi ini telah banyak berubah, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Konsep demokrasi (demos dan cratein) yang berakar dari tradisi Yunani Kuno seperti yang tersebut di atas dan demokrasi konsep representasi yang berakar dari sistem feodal yang berkembang kemudian telah melahirkan sebuah konsep demokrasi modern yang sama sekali berbeda.. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan.
Konsep representasi timbul ketika kalangan rakyat jelata (peasant) protes karena kaum bangsawan menaikkan pajaknya dengan berbagai macam alasan (utamanya untuk biaya peperangan). Karena tidak mungkin mereka semua bicara satu persatu dengan sang raja, terpaksa aspirasi mereka harus disalurkan lewat wakil-wakilnya (representatives). Proses tawar menawar mereka dengan bangsawan kemudian menjadi lembaga perwakilan (representation). Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.

Ilusi Demokrasi
Jauh-jauh hari, filsuf seperti Aristoteles mengungkapkan bahwa demokrasi seperti yang kita alami sekarang, di mana kita memilih orang-orang untuk diberi mandat mengurusi kehidupan publik bukanlah demokrasi sama sekali. Demokrasi modern yang menggabungkan dua konsep tersebut di atas sebenarnya melahirkan “ilusi demokrasi”. Yang dimaksud dengan “ilusi demokrasi” adalah perasaan keikutsertaan rakyat banyak terhadap pemerintahan karena mereka telah berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Penolakan Aristoteles tersebut dapatlah dipahami. Sebagaimana ilustrasi yang ditulis Muhammad Mova dalam Ilusi Demokrasi megetakan bahwa pada umumnya, orang beranggapan apabila setelah ikut pemilihan umum mereka telah menentukan jalannya pemerintahan. Padahal, pada kenyataannya aspirasi rakyat akan selalu mengalami distorsi. Pada demokrasi perwakilan yang kita praktekkan sekarang ini, logikanya 1 orang dipilih untuk mewakili –misalnya-- 400.000 konsituennya. Artinya, 1 orang anggota DPR tersebut seharusnya bisa menyerap dan menyuarakan aspirasi dari sejumlah 400.000 orang. Pada prakteknya, kita tidak pernah sekalipun mendengar bahwa secara faktual, aspirasi dari 400.000 orang tersebut disalurkan kepada wakilnya. Tidak pernah, seorang anggota DPR ketika akan membuat undang-undang, kembali kepada daerah pemilihannya dan menanyakan kepada konstituennya, apakah para pemilihnya itu menyetujui pasal-per-pasal apa dari rancangan undang-undang yang akan di sah kan itu. Realitanya, mereka hanya akan duduk di ruangan sidang dan mengasumsikan bahwa rakyat yang mereka wakili menyetujui apa-apa yang mereka bahas. Suara satu anggota parlemen dianggap sebagai penjelmaan dari suara ratusan ribu pemilihnya. Padahal, apabila ditanyakan kepada rakyat yang diwakili, belum tentu mereka setuju terhadap apa-apa yang tertulis dalam undang-undang. Distorsi demokrasi lebih jauh terbukti dengan dikeluarkannya undang-undang yang merupakan “pesanan” pihak asing.

Dalam The Ruling Class, Gaetano Mosca menggambarkan tentang adanya struktur masyarakat yang selalu ada dikotomi antara yang diatur dan yang mengatur. Kelas yang mengatur (the ruling class), baik berupa golongan bangsawan pada zaman foedal atau elit politik dan pemilik modal pada zaman demokrasi modern selalu berjumlah lebih sedikit dan lebih pintar dari pada kelas yang diatur. Sebaliknya, kelas yang diatur selalu berjumlah lebih banyak, dan tentu saja, lebih bodoh.

Lebih lanjut Gaestano Mosca mengungkapkan bahwa kelas yang diatur adalah kelas yang selalu dijadikan pion dalam mempertahankan kekuasaan. Pada zaman feodal mereka merupakan kalangan prajurit rendahan dan petani. Prajurit hidup dari gaji dan petani hidup dari tanah garapannya. Kelas yang mengatur (the ruler) pada zaman feodal menyebarkan propaganda kekuasaan dalam bentuk legenda, mitologi dan bahkan agama formal. Caranya adalah dengan membuat kepercayaan bahwa raja dan bangsawan merupakan keturunan, atau titisan dari dewa-dewa tertentu. Dengan menyebarkan paham demikian, kalangan bangsawan dan kerajaan akan memperoleh legitimasi kekuasaan. Rakyat yang diperintahnya memang ditanamkan untuk bersikap inferior terhadap keluarga kerajaan, karena menentang kerajaan berarti menentang keyakinan mereka sendiri.

Relevan dengan apa yang ditulis oleh Gaestano, apabila kita amati di zaman demokrasi modern ini, maka kelas yang diatur dan dieksploitasi adalah kalangan buruh dan pekerja. Faktor-faktor Ruling Class seperti yang terjadi pada masyarakat feodal tetap dapat ditemukan pada masyarakat demokrasi modern. Salah satunya adalah faktor keturunan (hereditary). Seperti halnya pada masyarakat feodal yang memperoleh status ruler karena keturunan, pada masyarakat demokrasi modern pun banyak dijumpai individu-individu yang memasuki kancah perpolitikan karena hal ini. Memang, dalam masyarakat demokrasi modern, faktor keturunan bukanlah faktor langsung yang menentukan seperti dalam masa feodal. Artinya, apabila bapaknya presiden, tidak otomatis anaknya menjadi presiden. Tapi, faktor keturunan mengambil bentuk yang lain, yakni timbulnya dinasti-dinasti politik. Hampir di semua negara terdapat dinasti-dinasti politik. Dinasti Bush dan Kennedy di Amerika, Dinasti Gandhi di India, Dinasti Bhutto di Pakistan, Dinasti Aquino di Filipina dan Dinasti Soekarno-Wahid di Indonesia. (Muhammad Mova; 2004)

Pemilu Indonesia di Masa Depan dan Pentingnya Pendidikan Politik
Renungan pribadi seperti yang tertulis di awal makalah ini, tentulah dilatarbelakangi oleh proses demokrasi di tanah air yang kita alami bersama. Kita sudah bersepakat bahwa negara kita memilih sistem demokrasi. Maka tidak ada kata tidak bahwa sistem demokrasi di tanah air harus terus diperbaiki. Penulis yakin bahwa tidak ada konsep yang dibuat oleh manusia itu sempurna, termasuk sistem demokrasi, apakah itu warisan Athena, kaum feodal atau pun kita buat model sendiri. Untuk menutupi ketidak sempurnaan sistem tersebut, maka kata kuncinya adalah kualitas manusianya.

Kita baru saja menjalankan proses pemilihan legislatif. Pada saat ini kita sedang menjalankan proses pemilihan presiden. Semua media, baik cetak maupun elektronik, masyaraka mulai dari tingkat bawah hingga atas sibuk mendiskusikannya. Apa pun hasilnya tentulah pertanyaan utamanya apakah kita sudah benar-benar menjalankan maksud dari demokrasi? Apakah justru pemilu yang merupakan mekanisme demokrasi justru tidak membuat kita “trauma” sebagai bangsa?

Untuk itu, kata kunci keberhasilan pemilu di masa depan adalah pada arti pentingnya Pendidikan Politik. Untuk menciptakan sebuah pemilu Indonesia yang baik di masa depan, maka institusi pendidikan harus mampu menyiapkan pendidikan politik bagi elite dan masyarakat. Sehingga partai politik dan masyarakat pada umumnya tidak hanya tertuju pada pergantian kekuasaan dan kepentingan organisasi atau partainya semata.

Bila pendidikan politik ini dapat berjalan, maka akan terbentuklah generasi politik di mana masa depan. Sayangnya, menurut Mochtar Buchori bahwa keadaan generasi politik sekarang masih dipimpin oleh orang yang tidak memiliki kearifan politik, sehingga dalam membuat keputusan politik menjadi tidak benar yang akibat komulatifnya adalah krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Padahal, Indonesia pernah memiliki generasi pemimpin bangsa yang arif dan bijaksana. Lanjut Muchtar Buchori …

…sejak tahun 1959 secara berangsur-angsur kearifan dalam berpolitik ini menurun. Dan, akhirnya kini kita dipimpin oleh suatu generasi politik yang keputusan-keputusan politiknya serba salah.

Untuk itu maka, dengan pendidikan yang dilaksanakan harus mampu melahirkan pemimpin yang mampu membuat keputusan politik yang benar. Artinya, keputusan yang relevan dengan persoalan bangsa. Di samping itu, pendidikan politik harus bisa memberikan kemampuan kepada generasi muda untuk memahami dan menghadapi zamannya secara cerdas dan lincah. Menurut Mochtar, ada empat langkah dasar yang diperlukan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Pertama, pemikiran tentang pendidikan tidak boleh diceraikan dari pemikiran tentang masalah politik. Tradisi pemisahan seperti ini telah menghasilkan tenaga pendidik yang tidak saja buta politik, tetapi menjadi alergi, bahkan takut kepada politik. Kedua, sekolah harus mengajarkan kepada murid kecakapan untuk menangkap berbagai jenis makna. Jadi, sekolah tidak hanya mengajarkan cara menghimpun pengetahuan tanpa pemahaman yang benar dan penuh. Ketiga, pemikiran tentang pendidikan harus dilakukan secara antisipatoris. Jangkauan waktu antisipasi tentang pendidikan harus jauh ke depan sehingga pendidikan bisa membekali anak didik dengan pengetahuan, nilai, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keempat, perlunya pendidikan kewarganegaraan untuk menanamkan kesadaran demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan ini harus mengacu kepada kenyataan sosio-kultur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Anak didik perlu diajarkan tentang bagaimana cara hidup dalam masyarakat majemuk secara damai dan produktif, sehingga anak didik bisa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang demokratis.

Pemilu sebagai sebuah mekanisme demokrasi tidak akan pernah membuat masyarakat menjadi puas secara substansial, apabila masyarakatnya sendiri berada dalam kondisi “bodoh” dan “lapar”. Yakinlah bahwa secara prosedural dan artificial kita telah berhasil melaksanakan pemilu dengan aman dan mungkin akan mendapat pujian dari negara manca, tapi yakinlah pula bahwa selagi masyarakat berada dalam kondisi “bodoh” dan “lapar” kita tidak akan menjumpai pemilu yang jujur dan adil. Pada tahapan masyarakat sudah mencapai kesejahteraan ekonomi dan pendidikan yang baik, maka sistem apa pun bisa menjadi baik. Melihat negara tetangga, utamanya Singapura, penulis yakin negara tersebut dalam pemilihan pemimpinnya, secara prosedural jauh dari proses demokratis, tetapi warga negara mereka tidak pernah berteriak bahwa pemilu mereka curang dan pemimpin yang mereka pilih adalah orang salah.

Teknologi Informasi; Solusi untuk Manajemen Sekolah Efektif


Penerapan otonomi pendidikan harus segera “ditangkap” sebagai momentum untuk memulai perubahan. Dan apabila ini sudah kita sepakati, maka setidaknya ada beberapa mata rantai target treatment peningkatan mutu pendidikan yang harus digarap secara simultan di tanah air, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah mencanangkan diri sebagai Kota Pendidikan Terkemuka pada tahun 2020. Target Treatment yang paling mendesak, adalah (1) Melakukan pemberdayaan guru agar menjadi professional, karena para guru inilah sebagai “ujung tombak” dan “peraga utama” keberhasilan dari otonomi pendidikan dengan segala derivasinya. (2) Melakukan perubahan Budaya Sekolah dari format “penyeragaman”, merasa paling serba tahu dan tersentralistik menjadi “Lembaga Jasa Persekolahan” (selain pengemban tugas civitas akademika tentunya) yang mempunyai sikap mandiri, demokratis dan kreatif, di mana sekolah dijalankan dengan system manajemen secara terbuka bersama para stake holdernya: praktisi pendidikan, orang tua, tokoh masyarakat, dunia usaha dan siswa sendiri sebagai konsumen atau pengguna jasa sekolah. Sudah barang tentu dengan mengutamakan kepentingan lokalitas berbasis peluang global, minimal regional sehingga cita-cita pemberdayaan daerah bisa lebih cepat tercapai. (3) Mengupayakan “Kesadaran Manusia Global” di sekolah melalui penghadiran Teknologi Informasi dan kesadaran “Multi Culture” secara simultan, baik teknologi selaku hardware maupun muatan multi culturenya selaku software.

Dengan demikian “Solusi Hybrida” yang cocok untuk menyokong ketiga kepentingan di atas adalah melakukan kemandirian dan demokratisasi pendidikan secara simultan melalui pelaksanaan otonomi sekolah berbasis School Based Management dan Teknologi Informasi. Karena melalui “format hybrida” inilah materi makro pendidikkan (filosofi, paradigma, tujuan, strategi dan kurikulum pendidikan yang diberlakukan), mikro pendidikan (pengelolaan, proses belajar mengajar dan materi ajar) meso pendidikan (dukungan masyarakat) yang berkaitan dengan kemandirian dan demokratisasi bangsa dapat diberikan secara simultan-kontekstual dan teraplikasi secara eksplisit di dalam sekolah sebagai struktur pengkondisian proses kemandirian (hakekat dari kebijakan otonomi daerah), demokrasi dan pembangunan masyarakat madani.

Salah satu implementasi dari semangat “untuk berubah”, betapapun masih sebatas uji coba dan tahap awal pelaksanaan, dunia pendidikan kita sudah mulai menerapkan model Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). Ciri demokratik dari sistem persekolahan ini adalah setiap lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan dirinya berdasarkan (1) Visi dan Misi Masing-masing Sekolah. Artinya bahwa sekolah diberikan peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia berdasarkan visi dan misi lembaganya. (2) Kondisi objektif komunitas masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa sekolah berhak dan berkewajiban untuk meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. (3) Kondisi Objektif Sekolah Bersangkutan. Ini termasuk meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah serta meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.

Dalam operasionalnya, ketiga hal itu harus didukung oleh konfigurasi segitiga peran pendidikan: Sekolah, keluarga dan masyarakat untuk duduk bersama dalam membahas kebutuhan-kebutuhan pengembangan sumber daya lokal dengan difasilitasi oleh pemerintah (Dinas Pendidikan). Dengan demikian “Manajemen Sekolah” tidak lagi sentralistik dan bersifat seragam menunggu “juklak” dan “juknis” dari pusat. Lebih dari itu, takkan terjadi lagi sekolah-sekolah di daerah tertentu misalnya, merasa “dipasung” karena harus mengikuti target-target capaian yang sama persis dengan kehendak “pusat”.

Akan tetapi, School Based Management bukanlah tanpa resiko. Ia ibarat pisau yang bermata dua. Bahayanya adalah apabila kita gagal menyiapkan proses “alih mental” dan “rekulturisasi system” lebih pada ethos managerialnya dari pada sekedar tiruan prosedur fisiknya, maka yang akan terjadi adalah munculnya “raja-raja kecil”, yaitu perilaku “pengelola sekolah” yang menerapkan wewenang dan kekuasaannya dengan semena-mena tanpa memiliki dasar konsep yang benar. Jika demikian yang terjadi hasilnya adalah malapetaka pendidikan. School Based Management membutuhkan “perubahan budaya” dari budaya kepemimpinan otoriter ke demokratik, dan dari budaya tergantung kepada budaya mandiri dan kreatif.

Budaya manajerial kita masih jauh dari demokratik, partisipatif pun belum. Dalam unit-unit pendidikan kita, masih banyak sekali enclave-enclave (pulau-pulau) si “raja kecil”. Transparansi masih satu kemewahan, duduk sama rendah juga masih satu keajaiban. Padahal system demokratik School Based Management membutuhkan egalitarianisme yang tinggi.

Lalu apa solusinya? Tentulah bukan menghentikan program School Based Management (SBM). Program ini adalah sudah kehendak zaman. Artinya bahwa SBM merupakan tuntutan dunia atau masyarakat pendidikan untuk menuju ke peradaban baru pendidikan Indonesia. Tidaklah berlebihan apabila kita menyebut SBM sebagai manajemen sekolah paradigma holistik.

Seiring dengan telah dicanangkannya Jogja sebagai Kota Berbasis Teknologi Informasi pada tahun 2005 ini, maka percepatan untuk mengimplementasikan SBM secara tepat, cepat, baik dan benar mejadi lebih memungkinkan.

Ilustrasi yang paling sedehana adalah bahwa kenyataan dilapangan, untuk menerapkan manajemen sekolah yang efektif adalah hal yang sangat sulit apabila dilakukan secara manual. Kita ketahui bersama untuk aktivitas administrasi saja (diluar pekerjaan akademik/proses belajar-mengajar dan pengelolaan stake holder), seperti set up data (pengolahan data dan transaksi, pelaporan dan evaluasi, pengendalian dan pengawasan, pengambilan keputusan), data kepegawaian, data siswa, aktivitas semester, evaluasi hasil belajar, pengelolaan nilai dan kompetensi, pengelolaan ujian akhir, proses penyusunan raport, proses kenaikan kelas, laporan nilai per mata pelajaran per siswa, laporan-laporan rekap lainnya seperti ditribusi nilai per matapelajaran, rekap kenaikan kelas, rekap kelulusan dan segudang tugas-tugas lainnya.
Contoh kecil tentang tugas-tugas di atas, tentulah menjadi hambatan yang cukup serius apabila tidak segera diantisipasi, apalagi dengan penerapan kurikulum 2004 dan tantangan global yang baru yang lebih menekankan kepada proses (di samping content). Dengan pendekatan alat bantu Teknologi Informasi dengan sub system informasi manajemen sekolah, maka segudang filing-filing data dan pekerjaan dapat digantikan dengan sebuah software system informasi manajemen.

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka perlu kiranya untuk melaksanakan program yang disusun berdasarkan skala prioritas penanganan isu berdasarkan implementasi manajemen sekolah efektif guna peningkatan mutu pendidikan di DIY. Tahapan dan bentuk-bentuk program tersebut adalah sebagai berikut: (1) Jangka Pendek: (a) Menyebarluaskan dan mengintroduksi terlebih dahulu perspektif “otonomi sekolah atas dasar School based management (SBM) dan Teknologi Informasi”, sehingga menjadi suatu keperdulian yang mendalam dari para pengelola pendidikan/guru guna mewujudkan renstra DIY sebagai kota pendidikan terkemuka tahun 2020. (b) Mendistribusikan perangkat keras (hardware) dan lunak (software) pendidikan yang paling urgent dan mendesak dengan step by step dan terpadu agar terhindar dari “gegar budaya” atau guncangan budaya karena “gagap teknologi”. (c) Pelatihan Teknologi Informasi untuk Pemberdayaan Pendidikan. Aspek terpenting lain dari SBM adalah pada basis IT atau Teknologi Informasinya. IT sendiri sebagai produk “kebudayaan lain” yang berbeda dari kebudayaan agraris. Ia memerlukan suatu proses internalisasi tersendiri. Didalamnya mengandung proses adopsi, sesuatu yang tak jarang menimbulkan “bencana” mengerikan tapi tidak disadari. Pembudayaan IT ini juga butuh suatu treatment tersendiri yang perlu didekati dalam “satu tarikan nafas” atau Simultansi Rekulturisasi berdasarkan materi terpadu. Untuk maksud tersebut, pelatihan teknologi informasi ini pada tahap awalnya akan lebih di arahkan pada pelatihan dasar-dasar internet dan cara-cara pemanfaatan Sistem Aplikasi Manajemen Administrasi Sekolah, sehingga efektifitas keberfungsiannya sebagai media komunitas sekolah untuk meningkatkan manajemen sekolah yang efektif. (2) Program Jangka Menengah dan Panjang. Program jangka pendek di atas diharapkan dapat menyediakan media komunitas sekolah (pengelola, kepala sekolah dan guru). Komunitas ini diharapkan menjadi ujung tombak keberhasilan manajemen sekolah yang efektif atas dasar School Based Management. Lebih dari pada itu “ujung tombak-ujung tombak” ini menjadi pemicu tumbuhnya media komunitas antar guru, antar sekolah, dan antar stake holder pendidikan di propinsi DIY. Artinya dalam jangka menengah perlu diusahakan untuk pengembangan situs pendidikan (on-line) di mana secara hakikat dia berperan juga sebagai klinis pendidikan. Dan dalam jangka panjang tentulah ini menjadi dasar pencanangan Jogja sebagai Cyber City.

KEBANGKITAN PENDIDIKAN DAN PEMAKNAAN ABAD INFORMASI


Perlunya mengintegrasikan Teknologi Informasi dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang ditekankan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah sesuatu yang sangat penting untuk ditindaklanjuti. Hal ini bukan saja karena kebutuhan yang sangat mendesak dalam agenda kerja pemerintah dan masyarakat Indonesia guna mewujudkan Visi Indonesia 2030, melainkan juga ini merupakan satu konsekuensi logis dari sebuah komitmen yang sudah ditandatangani oleh bangsa Indonesia dalam World Summit on Information Society (WSIS 2004) yang salah satu butir kesepakatannya adalah komitmen bahwa pada tahun 2015, paling tidak 50% dari populasi penduduk harus dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Relevan dengan semangat satu abad Kebangkitan Nasional dan delapan dasawarsa Sumpah Pemuda serta dalam rangka menumbuhkan semangat kebangkitan pendidikan, maka sudah seharusnya ini menjadi agenda utama masyarakat Indonesia untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikannnya mengingat data dari APJII (Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia) memperlihatkan bahwa hingga saat ini, pihak yang paling banyak berperan dalam pembentukan individu yang paham Teknologi Informasi adalah lembaga pendidikan. Ini artinya bahwa berhasil tidaknya bangsa Indonesia dalam menciptakan masyarakat berbasis informasi dan pengetahuan seperti cita-cita tersebut di atas sangat bergantung nasibnya kepada institusi pendidikan. Lebih jauh lagi ini berimplikasi bahwa tanpa adanya keterlibatan penggunaan teknologi informasi pada lembaga pendidikan dasar dan menengah, maka cita-cita tersebut hanya akan menjadi “impian semusim” dan “isapan jempol” belaka.

Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Arti penting tentang perubahan paradigma pendidikan di tanah air telah kita sadari bersama. Paradigma baru adalah kata kunci untuk menjawab kebutuhan dan tantangan globalisasi saat ini. Dari sekian banyak perubahan paradigma pendidikan, paling tidak ada dua paradigma baru yang berdampak pada perubahan peranan sebuah lembaga pendidikan di tanah air yang merujuk pada fungsi dan peran teknologi informasi. Pertama adalah metode pembelajaran. Apabila dahulu proses pembelajaran di kelas adalah merupakan “pentas tunggal” seorang guru (berorientasi pada guru dan bersifat satu arah) sekarang harus dilakukan secara multi arah dan berorientasi pada siswa. Kedua adalah manajemen sekolah. Apabila dahulu sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri (non jaringan)), maka pada konteks kekinian sekolah harus membentuk sebuah jejaring antar institusi pendidikan untuk dapat saling tukar menukar informasi pengetahuan dan sumber dayanya.

Fungsi dan Peran Teknologi Informasi
Dengan adanya perubahan paradigma baru pendidikan, maka penekanannya akan meliputi (1) prinsip pendidikan harus bersandarkan kepada “muatan lokal, orientasinya global, (2) Kurikulum dan isi pendidikan harus berbasis kompetensi (3) Orientasi proses pembelajaran pada pemecahan masalah riil kehidupan, (3) fasilitas sarana dan prasarana guna mewujudkan jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya harus berbasis teknologi informasi (4) SDM yang terlibat haruslah memiliki kemampuan multidimensi yang mampu menstimulus multiintelijensia dari peserta didik (5) Manajemen Berbasis Sekolah dengan mengimplementasikan sistem informasi terpadu sebagai tulang punggung proses administrasi dan strategis. Dalam konteks ini, maka fungsi dan peran teknologi informasi dalam pendidikan tidak dapat ditawar-tawar lagi karena peran strategisnya mencakup hal-hal yang sangat fundafemtal bagi perwujudan visi Indonesia 2030. Secara singkat peran tersebut adalah sebagai berikut: (1) Teknologi Informasi sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan. Pendidikan yang berkualitas dan terbaru harus dapat dihadirkan dalam setiap mata ajar yang di selenggarakan. Ini artinya bahwa kurikulum yang disusun dan dikembangkan haruslah memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan terkini. Untuk mengantisipasi ini, maka pemanfaatan teknologi informasi – khususnya internet – sudah selayaknya menjadi “makanan” pokok setiap guru untuk dapat dengan mudah menjelajah dan mengakses konten terbaik yang diinginkan dari gudang ilmu pengetahuan dari berbagai sumber di seluruh belahan jagad raya. (2) Teknologi informasi sebagai Alat Bantu Pembelajaran. KBK atau Kurikulum 2004 mensyaratkan kreativitas guru sebagai fasilitator dalam memilih pendekatan belajar mengajar. Ini artinya bahwa konsep pembelajaran secara efektif dan interaktif harus segera dihadirkan. Dengan ditunjang alat bantu atau media pembelajaran yang memadai maka hal ini barulah dapat terwujud. Alat bantu ini haruslah pula mengikuti kemajuan teknologi informasi karena teknologi ini telah mampu menciptakan sejumlah produk yang berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran yang dapat menjawab tantangan pendidikan masa depan. Misalnya adalah perangkat multimedia untuk simulasi, aplikasi untuk belajar mandiri, buku elektronik untuk siswa, sistem penilaian dan lain sebagainya. (3) Teknologi informasi sebagai salah satu ukuran Standar Kompetensi. Keterlaksanaan dari pemanfaatan TI sangat tergantung pada kompetensi, keahlian dan keterampilan peserta didik yang meliputi guru dan siswa dalam menggunakan teknologi tersebut. Untuk itu, maka mereka harus memiliki standar kompetensi tertentu di bidang teknologi informasi, misalnya meliputi kemampuan mengoperasikan aplikasi pengolah dan analisa data, statistik, dokumen elektronik, dan lain sebagainya. Sementara untuk penguasaan dalam mengoperasionalkan perangkat lunak multimedia dan presentasi – paling tidak dapat dilakukan oleh siswa dalam mengerjakan pekerjaan rumah. (4) Teknologi Informasi sebagai Support Siystem Administrasi Pendidikan. Untuk keberhasilan implementasi dari perubahan paradigma pendidikan Indonesia yang salah satu derivasinya adalah KBK tentulah mensyaratkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sedemikian banyak siswa dan guru. Untuk itu, maka dibutuhkan sistem informasi terpadu yang efektif. Di samping sistem tersebut tidak hanya berfungsi mengelola administrasi guru dan siswa saja, melainkan dapat diharapkan lebih jauh lagi yakni membantu berbagai proses dan aktivitas belajar mengajar dari mulai pengaturan mata dan materi ajar, pengaturan kelas, sistem penilaian, presentasi siswa, kegiatan ekstra kurikuler, sampai dengan pendataan dan ”rekam jejak” alumni. Dengan menggunakan teknologi informasi maka pengelola dan praktisi pendidikan dapat dengan mudah mempelajari kelemahan dan kekuatan sekaigus kemajuan studi setiap individu siswanya dengan mencatat seluruh transaksi dan interaksi secara baik (tertib administrasi). (5) Teknologi informasi sebagai Fasilitas Pendidikan. Tidak ada kata lain, apabila kita ingin dapat memanfaatkan secara maksinal dari perkembangan teknologi informasi, maka sebuah institusi pendidikan harus menggunakan sejumlah fasilitas handal semacam laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, dan sebagainya di lingkungan sekolah. Dengan bantuan teknologi informasi, sebuah institusi pendidikan akan mendapatkan manfaat yang luar biasa karena dalam waktu singkat mereka dapat terkoneksi secara cepat dan murah dengan e-library (electronic library), e-laboratory (laboratorium virtual) yang terdapat di seluruh belahan dunia. (6) Teknolgi informasi sebagai Alat Bantu Manajemen Sekolah. Dengan dikembangkannya Manajemen Berbasis Sekolah, maka para pengelola dan praktisi pendidikan menjadi kunci keberhasilannya. Betapa tidak, sekarang seorang kepala sekolah, wakil dan deputi-deputinya harus siap menangani dan mengelola segudang permasalahan dan beraneka ragamnya sumber daya pendidikan, seperti: fasilitas, aset, keuangan, dan seluruh stakeholder pendidikan lainnya. Untuk itu sebuah sistem informasi yang dapat membantu mereka harus dihadirkan agar dapat membantu mereka dalam mengambil keputusan sehari-hari. Inilah peranan teknologi informasi yang sangat strategis. (7) Teknologi informasi sebagai Infrastruktur Pendidikan. Pada saat sekarang – dalam rangka mewujudkan sebuah komunitas berbasis Ilmu pengetahuan dan informasi, maka teknologi informasi harus menjadi infrastruktur pendidikan. Infrastruktur adalah suatu hal fundamental yang wajib dimiliki oleh sebuah entitas untuk dapat berkembang. Dengan kata lain bahwa sekolah harus mengalokasikan sejumlah sumber daya yang dimiliki untuk diinvestasikan dalam membangun kebutuhan wajib ini, terutama dalam hal penyediaan perangkat komputer, membangun jaringan koneksi dengan internet, pengadaan aplikasi pendidikan, dan lain sebagainya.

Mewujudkan Pemerataan Pendidikan dan Informasi Berbasis IT
Semangat profesionalisme di satu sisi, dengan memperhatikan kecendrungan budaya yang diakibatkan oleh budaya global, menjadi satu keharusan yang tidak dapat ditolak. Fakta bahwa kondisi keindonesiaan yang lebih banyak diwarnai oleh masyarakat yang masih jauh tertinggal tingkat pendidikannya akan terasa sulit untuk dibentuk menjadi masyarakat profesional. Sebagai jalan tengahnya, tidak ada pilihan lain selain memasyarakatkan pendidikan dan penyadaran secara menyeluruh ke segenap penjuru tanah air.

Sebagai catatan, meskipun kondisi masyarakat masih didominasi oleh kelompok masyarakat tidak terdidik, agar model pendidikan alternatif semakin tumbuh dan berkembang, harus didahului oleh suatu sikap dengan asumsi bahwa masyarakat kita cukup tahu dan memiliki kemampuan untuk mandiri. Berangkat dari anggapan positif terhadap masyarakat ini, akan semakin memudahkan tugas-tugas penumbuhan model pendidikan alternatif serta dapat memacu pemikiran-pemikiran yang jenius yang berangkat dari pengalaman empiris mereka. Masyarakat tidak harus selalu dicekoki tetapi diajak untuk turut memahami tentang berbagai fenomena global, sehingga mereka semakin tahu dalam menempatkan posisinya di tengah persaingan global serta terpacu untuk menyiapkan diri lebih jauh.

Untuk mewujudkan perkembangan proses pendidikan alternatif, maka di awal-awal harus dipersiapkan terlebih dahulu langkah-langkah sebagi berikut:

1.Menyiapkan Kondisi teknologi pendukung, karena perkembangan arus global tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh perkembangan teknologi yang menakjubkan di semua aspek kehidupan. Khusus di dunia pendidikan aneka perkembangan teknologi telah memungkinkan berbagai kerjasama antar institusi, komunikasi antar civitas akademika dengan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dunia yang kini lazim dengan dikenal dengan istilah Cyber space memberikan gambaran betapa transparannya suatu dunia yang sebelumnya tampak serba terisolir. Kemudahan hubungan antar manusia akibat teknologi informasi ini dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan untuk menyampaikan misinya. Sarana teknologi pendidikan yang bisa dimanfaatkan oleh penyelenggaraan pendidikan alternatif atau sistem pendidikan jarak jauh (Distance Learning) tersebut antara lain fasilitas ruang kelas multimedia (visual class) dengan dilengkapi media teleconference, internet, audio cassette (rekaman kuliah), radio broadcast, tv broadcast, dan delivery services. Untuk itu, maka perlu dirintis pembangunan pusat jaringan pelayanan data (broadband) dan backbone seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia dengan Tellekom Smart School-nya dan Singapura dengan Multimedia Development Center-nya.

2.Model Pengembangan DL (Distance Learning). Kondisi geografis Indonesia, kemampuan sumber daya manusia serta sosio-kultural yang juga berbeda-beda, mengakibatkan ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Model pendidikan Distance Learning sesungguhnya adalah sangat cocok dengan kondisi Indonesia tersebut. Sistem ini bisa “menjangkau” dan “dijangkau” oleh seluruh lapisan masyarakat. Menjangkau dalam artian bahwa pendidikan tersebut dapat mendatangi rumah-rumah atau tempat-tempat di mana orang itu berada, sebuah pendidikan yang terbebas dari masalah ruang dan waktu. Orang bisa belajar walaupun ia berada di pedalaman (rural area), atau bahkan di luar negeri. Sepanjang orang masih berada di planet Bumi, siapapun mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar. Sarana yang dibutuhkan untuk program DL ini adalah sarana komunikasi yang berupa media cetak atau elektronika, berupa modul, CD-ROM, rekaman video atau bahkan media yang dapat ditransformasi melalui internet. Sedang pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah pendidikan dengan biaya murah dan dapat diperoleh dengan cara yang mudah.

3.Pengembangann Education Library (EL). Kebutuhan utama dalam program pendidikan jarak jauh, selain fasilitas teknologi yang seperti tersebut di atas, juga tidak kalah penting adalah tersedianya fasilitas perpustakaan yang dapat diakses oleh masing-masing peserta didik yang berada diberbagai penjuru tempat. Maka perlu dikembangkan Home Page Distance Learning yang memang dirancang sebagai perangkat perpustakaan jarak jauh. Melalui fasilitas ini, diharapkan para peserta didik dapat memperoleh buku-buku referensi, meliputi bahan abstraksi dan berbagai literatur yang berhubungan dengan seluruh aspek pendidikan jarak jauh.

4.Pengembangan Delivery Services (DS). Program delivery services ini diperuntukkan sebagai pelengkap dalam rangka penyediaan-penyediaan fasilitas yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan program distance learning. Mengingat tidak semua wilayah di Indonesia memiliki jaringan telekomunikasi yang baik atau fasilitas teknologi informasi lainnya, maka untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk memperoleh bahan-bahan ajar dan segala hal yang berkaitan dengan program pendidikan jarak jauh, maka dapat diantisipasi dengan Delivery Services.

5.Television and Radio Program Services. Program seperti ini pernah dilakukan oleh Universitas Terbuka di Indonesia dan universitas lain di dunia yang menyelenggarakan program distance learning seperti Ramkanghaeng University di Thailand. Dari apa yang telah dilakukan oleh beberapa universitas yang melaksanakan program tersebut, dapat dipelajari agar disain program maupun penayangannya jauh lebih menarik dan efektif.

6.Layanan-layanan Lain seperti Seminar Berkala dan Kelompok Belajar Jarak Jauh (Distance Learning Study Clubs). Program dan layanan seperti ini diharapkan juga dapat membantu proses pelaksanaan program belajar jarak jauh, seperti seminar berkala yang dijadikan program baku yang dirancang untuk mensosialisasikan perkembangan pemikiran para ahli di berbagai bidang kepada peserta didik, di mana topik-topiknya disesuaikan dengan bahan ajar. Program ini, selain berfungsi sebagai penyelenggara, juga diharapkan dapat menjadi forum interaksi antar peserta didik. Selaras dengan ini maka perlu dikembangkan juga kelompok-kelompok belajar Program Belajar Jarak Jauh (Distance Learning).

Dengan adanya terobosan-terobosan baru di bidang teknologi informasi, serta didukung oleh pusat-pusat layanan seperti yang tersebut di atas, maka keraguan akan keberlangsungan serta kualitas dari para lulusan program belajar jarak jauh menjadi tidak beralasan. Hanya saja memang, di awal-awal harus dipetakan terlebih dahulu mekanisme dan aturan mainnya. Untuk itu maka perlu dibuatkan standarisasi bagi setiap kelulusannya.

Peran Pemuda dalam Mengobarkan Kembali Semangat Nasionalisme dan Patriotisme


1.Latar Belakang
Kepentingan aktor-aktor global baik Barat maupun anti barat serta kepentingan-kepentingan elit berselubung kekuatan primordial dan keormasan (jejaring organisasi massa, agama, suku, dan seterusnya), maupun yang bersifat komprador terhadap kekuatan asing telah mendeterminisme kebijakan nasional Indonesia. Keindonesiaan sebagai sebuah semangat perjuangan bersama sebuah bangsa itu sendiri gagal ditangkap sebagai roh dan menggerakkan sumbu-sumbu roda kehidupan bersama Indonesia.

Situasi kontemporer menunjukkan betapa persilangan dan benturan agenda-agenda elitis dan agenda asing itu yang menurut Al Adam Purwanto telah mengantar hidup bersama ke dalam tiga tantangan:

a.Kebangsaan
Ada keraguan massif tentang mimpi bersama yang harus diperjuangkan sebuah bangsa bernama Indonesia, bahkan gagasan konsolidasi hidup bersama dalam wadah bangsa itu sendiri diragukan. Bangsa adalah arena menyambung massa demi kepentingan-kepentingan
b.Kebudayaan
Rusaknya gagasan hidup bersama sebagai satu perjuangan, satu nasib satu penanggungan, menghancurkan tata keutamaan hidup bersama yang bersemayam dan termanifestasi dalam kebudayaan. Developmentalisme Negara Orde Baru menghasilkan kehancuran massif pondasi kebudayaan demi alasan-alasan kepentingan nasional. Rasionalisasi masyarakat merubah kebudayaan dari epik menjadi etnik, yang tunduk pada agenda kekuasaan instrumental. Tradisi bukan lagi reservoir nilai dan keutamaan, bukan lagi rumah bagi dialektika peradaban dan kehidupan, tradisi tersisa tak lebih dari sekadar aksen tata ekonomi para serigala; homo homoni lupus.
c.Kerakyatan
Dalam Piramida sosial politik nasional semacam ini, rakyat adalah korban paling menderita dari disorientasi kebangsaan dan kebudayaan. Problem pemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan sistemik menjadi keseharian dalam kekuasaan dan kebudayaan yang tidak diabdikan kepada warga Negara maupun kemanusiaan.
Perjuangan cita-cita kebangsaan mutlak didasarkan pada terciptanya transformasi kebudayaan yang berwatak kerakyatan:
1.bagaimana memperbaharui kembali gagasan bangsa sebagai rumah bersama, sekaligus rumah perjuangan hidup bersama yang dipenuhi solidaritas-keadilan-kemanusiaan
2.Bagaimana memulihkan kebudayaan sebagai reservoir sekaligus bahasa dialektika peradaban dan makna kehidupan?
3.Bagaimana menjadikan rakyat kembali berada pada tata politik, tata ekonomi dan tata kebudayaan kita, Republik Indonesia.

Tetapi sejarah juga menunjukkan betapa sedikit demi sedikit, semakin jauh cita-cita ini dari perjalanan dan pergulatan kolektif Republik, gagalnya terbentuk fondasi demokrasi ekonomi seperti yang pernah digagas oleh para pendiri bangsa akibatnya rakyat adalah korban paling menderita


2.Kontek Kebangkitan Nasional

Boedi Oetomo adalah inspirasi
bagi tumbuhnya organisasi perjuangan lain,
hingga Indonesia Merdeka

Tanggal 20 Mei 1908 sekelompok pemuda yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Bangkitnya kesadaran atas kesatuan kebangsaan dan nasionalisme yang dirintis oleh Boedi Oetomo ini kemudian menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi perjuangan lainnya. Fenomena munculnya nasionalisme tersebut terjadi karena didorong oleh faktor sejarah, yang secara ideologis merupakan kristalisasi kesadaran berbangsa dan bernegara. Momentum 20 Mei selanjutnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Pergerakan Nasional yang pada perkembangan berikutnya dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dua puluh tahun kemudian para pemuda pejuang di negeri ini dengan didasari oleh semangat persatuan dan kesatuan bangsa, kembali mengukir sejarah dengan ikrar Sumpah Pemuda “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia”. Perjuangan yang panjang itu akhirnya mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Itulah titik kulminasi dari perjuangan bangsa untuk membentuk Negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Proklamasi kemerdekaan sekaligus manandai robohnya imperialisme dan kolonialisme digantikan oleh system pemerintahan nasional yang dibentuk atas prakarsa dan kebutuhan bangsa ini.

3.Indonesiaku Kini

Negara kita telah dikuasai kembali oleh BANGSA ASING…
yaitu bangsa yang asing akan negaranya sendiri

Enam puluh dua tahun seiring dengan perjalanan waktu untuk mewujudkan cita-cita pendiri Republik, ternyata bangsa ini belum juga menikmati kesejahteraan sebagaimana yang selalu dijanjikan rezim yang sedang berkuasa. Orde Lama dengan politik NASAKOM-nya telah gagal membawa kemakmuran bangsa. Tiga puluhan tahun pemerintah Orde Baru sebagai pengganti Orde Lama dengan tahapan REPELITA-nyapun ternyata belum juga mampu mewujudkan cita-cita kita bersama. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi budaya, telah merongrong nasionalisme dan integritas bangsa. Pembodohan yang dilakukan Orde Baru telah membakar amarah bangsa kita yang kemudian melahirkan gerakan reformasi menumbangkan rezim penguasa Orde Baru.

Pemerintah era reformasi telah berjalan hampir satu dekade, namun belum juga nampak adanya perubahan yang signifikan sesuai dengan amanat Reformasi. Krisis multidimensi akibat kekurangmampuan pengelolaan aset nasional ditambah lagi dengan bencana alam yang terjadi secara bertubi-tubi telah menyebabkan bangsa ini kian terpuruk. Bahkan di era ini, kondisi bangsa makin terombang-ambing di antara banyak kepentingan global. Sungguh ironis dan tragis pengelolaan bangsa ini, sehingga dirasa perlu adanya suatu koreksi mendasar terhadap arah manajemen Republik ini agar jati diri bangsa dapat ditemukan kembali.

4.Revitalisasi Kebangkitan Nasional

“al ben ik Westers opgevoedt, ik blijf en ben een Javaan”
“Walaupun saya dididik cara Barat (baca: Globalisasi),
Saya tetaplah orang Jawa (baca: Indonesia)”

- Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Upaya strategis yang dapat dilakukan segera adalah dengan menumbuhkan kembali semangat kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat kebangkitan nasional yang mengandung nilai-nilai kesatuan, pengorbanan dan nasionalisme perlu dikenalkan, dipahami untuk kemudian diteladani oleh seluruh lapisan masyarakat. Perubahan mindset serta moral bangsa melalui “Nation & Character Building” perlu dilaksanakan agar kesadaran kolektif, rasa nasionalisme dan jati diri bangsa dapat tumbuh kembali. Hal ini penting untuk mengisi kemerdekaan NKRI yang berdaulat, sejahtera dan berkeadilan sosial.

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional kali ini diyakini sebagai suatu momentum yang paling berharga dan penting untuk mengawali upaya-upaya perbaikan bangsa dan Negara dalam menyongsong masa depan. Berbekal prespektif yang luas mengenai berbagai dimensi baik idiologi, politik, ekonomi, social, budaya maupun pertahanan dan keaman, generasi muda secara proaktif mengambil peran sebagai inisiator dalam menciptakan visi bersama untuk mewujudkan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang maju, sejahtera dan berdaulat. Visi yang tercipta diharapkan dapat melengkapi ketiga ikrar Sumpah Pemuda yang telah mampu menyatukan Bangsa dan Negara selama ini. Komitmen bersama pemuda akan menuju kesempurnaan yaitu: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Visi, Indonesia, dalam menggelorakan semangat seluruh bangsa untuk memajukan Negara dan mencapai kesejahteraan warganya.

5.Solusi
Mempersiapkan generasi muda Indonesia masa depan
sebagai agent of change (pelopor pembaharuan)
untuk kejayaan Bangsa

Menengok kembali masa ketika Kebangkitan Nasional tahun 1908 dicetuskan serta Sumpah Pemuda tahun 1928 dikumandangkan, para pejuang bangsa kala itu tergolong masih muda. Para pemuda inilah yang membakar semangat jiwa kebangsaan dan yang mampu membuahkan hasil luar biasa yaitu semangat jiwa kebangsaan dan yang mampu membuahkan hasil luar biasa yaitu KEMERDEKAAN. Belajar dari pengalaman tersebut, timbul suatu gagasan serta kesadaran bahwa disaat negeri kita terpuruk karena berbagai masalah dan beban yang dialami, maka bangsa ini mencoba kembali menyandarkan harapannya kepada para pemuda kita. Dalam kondisi sulit saat ini dan menghadapi tantangan hidup ke depan yang semakin kompleks, bangsa Indonesia membutuhkan energi baru yang mampu mengobarkan kembali semangat nasionalisme dan patriotisme. Oleh karena itu, pemuda sebagai pemegang estafet kepemimpinan Negara dituntut mampu memvisualisasikan impian bangsa di masa mendatang, mengemasnya menjadi SATU VISI BERSAMA dan mengikrarkannya, selanjutnya mewujudkan visi tersebut dalam misi, program, serta kegiatan yang berkelanjutan.

REKONSTRUKSI NILAI BUDAYA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL

A great civilization is not conquered from without
until has destroyed itself from within
W. Durant


Determinisme kebijakan nasional Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dua hal: kepentingan aktor-aktor global (Barat dan anti-Barat), dan kepentingan-kepentingan elit berselubung kekuatan primordial dan keormasan (jejaring organisasi massa, agama, suku, dan seterusnya), maupun yang bersifat komprador terhadap kekuatan asing. Keindonesiaan sebagai sebuah semangat perjuangan bersama sebuah bangsa itu sendiri gagal ditangkap sebagai roh dan menggerakkan sumbu-sumbu roda kehidupan bersama Indonesia.

Situasi kontemporer menunjukkan betapa persilangan dan benturan agenda-agenda elitis dan agenda asing itu telah mengantar hidup bersama ke dalam tiga tantangan:

a.Kebangsaan
Ada keraguan massif tentang mimpi bersama yang harus diperjuangkan sebuah bangsa bernama Indonesia, bahkan gagasan konsolidasi hidup bersama dalam wadah bangsa itu sendiri diragukan. Bangsa adalah arena menyambung massa demi kepentingan-kepentingan

b.Kebudayaan
Rusaknya gagasan hidup bersama sebagai satu perjuangan, satu nasib satu penanggungan, menghancurkan tata keutamaan hidup bersama yang bersemayam dan termanifestasi dalam kebudayaan. Developmentalisme Negara Orde Baru menghasilkan kehancuran massif pondasi kebudayaan demi alasan-alasan kepentingan nasional. Rasionalisasi masyarakat merubah kebudayaan dari epik menjadi etnik, yang tunduk pada agenda kekuasaan instrumental. Tradisi bukan lagi reservoir nilai dan keutamaan, bukan lagi rumah bagi dialektika peradaban dan kehidupan, tradisi tersisa tak lebih dari sekadar aksen tata ekonomi para serigala; homo homoni lupus.
c.Kerakyatan
Dalam Piramida sosial politik nasional semacam ini, rakyat adalah korban paling menderita dari disorientasi kebangsaan dan kebudayaan. Problem pemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan sistemik menjadi keseharian dalam kekuasaan dan kebudayaan yang tidak diabdikan kepada warga Negara maupun kemanusiaan.

Perjuangan cita-cita kebangsaan mutlak didasarkan pada terciptanya transformasi kebudayaan yang berwatak kerakyatan:
1.bagaimana memperbaharui kembali gagasan bangsa sebagai rumah bersama, sekaligus rumah perjuangan hidup bersama yang dipenuhi solidaritas-keadilan-kemanusiaan
2.Bagaimana memulihkan kebudayaan sebagai reservoir sekaligus bahasa dialektika peradaban dan makna kehidupan?
3.Bagaimana menjadikan rakyat kembali berada di tata politik, tata ekonomi dan tata kebudayaan kita, Republik Indonesia.

Tetapi sejarah juga menunjukkan betapa sedikit demi sedikit, semakin jauh cita-cita ini dari perjalanan dan pergulatan kolektif Republik, gagalnya terbentuk fondasi demokrasi ekonomi seperti yang pernah digagas oleh para pendiri bangsa akibatnya rakyat adalah korban paling menderita

Indonesiaku Kini

Negara kita telah dikuasai kembali oleh BANGSA ASING…
yaitu bangsa yang asing akan negaranya sendiri

Enam puluh dua tahun seiring dengan perjalanan waktu untuk mewujudkan cita-cita pendiri Republik, ternyata bangsa ini belum juga menikmati kesejahteraan sebagaimana yang selalu dijanjikan rezim yang sedang berkuasa. Orde Lama dengan politik NASAKOM-nya telah gagal membawa kemakmuran bangsa. Tiga puluhan tahun pemerintah Orde Baru sebagai pengganti Orde Lama dengan tahapan REPELITA-nyapun ternyata belum juga mampu mewujudkan cita-cita kita bersama. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi budaya, telah merongrong nasionalisme dan integritas bangsa. Pembodohan yang dilakukan Orde Baru telah membakar amarah bangsa kita yang kemudian melahirkan gerakan reformasi menumbangkan rezim penguasa Orde Baru.

Pemerintah era reformasi telah berjalan hampir satu dekade, namun belum juga nampak adanya perubahan yang signifikan sesuai dengan amanat Reformasi. Krisis multidimensi akibat kekurangmampuan pengelolaan aset nasional ditambah lagi dengan bencana alam yang terjadi secara bertubi-tubi telah menyebabkan bangsa ini kian terpuruk. Bahkan di era ini, kondisi bangsa makin terombang-ambing di antara banyak kepentingan global. Sungguh ironis dan tragis pengelolaan bangsa ini, sehingga dirasa perlu adanya suatu koreksi mendasar terhadap arah manajemen Republik ini agar jati diri bangsa dapat ditemukan kembali.


Revitalisasi Nilai Budaya Nasional

“al ben ik Westers opgevoedt, ik blijf en ben een Javaan”
“Walaupun saya dididik cara Barat (baca: Globalisasi),
Saya tetaplah orang Jawa (baca: Indonesia)”

- Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Upaya strategis yang dapat dilakukan segera adalah dengan menumbuhkan kembali semangat kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat kebangkitan nasional yang mengandung nilai-nilai kesatuan, pengorbanan dan nasionalisme perlu dikenalkan, dipahami untuk kemudian diteladani oleh seluruh lapisan masyarakat. Perubahan mindset serta moral bangsa melalui “Nation & Character Building” perlu dilaksanakan agar kesadaran kolektif, rasa nasionalisme dan jati diri bangsa dapat tumbuh kembali. Hal ini penting untuk mengisi kemerdekaan NKRI yang berdaulat, sejahtera dan berkeadilan sosial.

Sudah saatnyalah kita harus memulai untuk mengawali upaya-upaya perbaikan bangsa dan negara dalam menyongsong masa depan. Berbekal prespektif yang luas mengenai berbagai dimensi baik idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pertahanan dan keaman, generasi muda secara proaktif mengambil peran sebagai inisiator dalam menciptakan visi bersama untuk mewujudkan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang maju, sejahtera dan berdaulat. Visi yang tercipta diharapkan dapat melengkapi ketiga ikrar Sumpah Pemuda yang telah mampu menyatukan Bangsa dan Negara selama ini. Komitmen bersama pemuda akan menuju kesempurnaan yaitu: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Visi, Indonesia, dalam menggelorakan semangat seluruh bangsa untuk memajukan Negara dan mencapai kesejahteraan warganya.
Solusi

Mempersiapkan generasi muda Indonesia masa depan
sebagai agent of change (pelopor pembaharuan) untuk kejayaan Bangsa

Menengok kembali masa ketika Kebangkitan Nasional tahun 1908 dicetuskan serta Sumpah Pemuda tahun 1928 dikumandangkan, para pejuang bangsa kala itu tergolong masih muda. Para pemuda inilah yang membakar semangat jiwa kebangsaan dan yang mampu membuahkan hasil luar biasa yaitu semangat jiwa kebangsaan dan yang mampu membuahkan hasil luar biasa yaitu KEMERDEKAAN. Belajar dari pengalaman tersebut, timbul suatu gagasan serta kesadaran bahwa disaat negeri kita terpuruk karena berbagai masalah dan beban yang dialami, maka bangsa ini mencoba kembali menyandarkan harapannya kepada para pemuda kita. Dalam kondisi sulit saat ini dan menghadapi tantangan hidup ke depan yang semakin kompleks, bangsa Indonesia membutuhkan energi baru yang mampu mengobarkan kembali semangat nasionalisme dan patriotisme. Oleh karena itu, pemuda sebagai pemegang estafet kepemimpinan Negara dituntut mampu memvisualisasikan impian bangsa di masa mendatang, mengemasnya menjadi SATU VISI BERSAMA dan mengikrarkannya, selanjutnya mewujudkan visi tersebut dalam misi, program, serta kegiatan yang berkelanjutan berupa:
1.Menemukenali permasalahan yang dirasa selama ini telah menghambat pencapaian cita-cita bangsa dan negara serta melakukan evaluasi serta instrospeksi guna melakukan perubahan mendasar untuk perbaikan situasi dewasa ini dalam segala hal (poleksosbudhankam)
2.Menggali asa atau impian generasi muda akan wujud, bentuk dan tujuan berbangsa dan bernegara di masa depan dan mewujudkannya dalam suatu kesepakatan bersama
3.Melakukan kegiatan secara berkelanjutan sebagai aktualisasi kesepakatan bersama yang mampu mendorong terciptanya perilaku dan sistem baru yang kondusif, inovatif, pro kemajuan dan perkembangan jaman dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan yang tetap bersendikan pada budaya sebagai tulang punggungnya.

Peran Pendidikan Wanita dalam Kebudayaan Global

Sebuah kalimat inti apabila kita berbicara
tentang apa peran pendidikan wanita dalam keluarga
adalah peningkatan kualitas wanita itu sendiri.


Sebagai pengemban amanah Allah SWT., di dalam diri manusia telah ditanamkan fitrah untuk mengembangkan keturunan agar generasi manusia bisa dipertahankan kelestariannya sebagai khalifah di muka bumi. Dari usaha melanjutkan fungsi kekhalifahan ini, Allah pun telah menggariskan bahwa wanitalah tempat ”persemaian” generasi manusia. Inilah fungsi dan peran utama wanita dalam kehidupan yang tidak bisa digantikan apalagi dilakukan oleh seorang laki-laki.

Dari latar belakang di atas, maka mutlak bahwa wanita harus mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk mengemban amanah suci tersebut, karena tidak akan ada generasi pelanjut kekhalifahan yang baik di muka bumi ini apabila ibunya bukan seorang yang baik. Tidaklah berlebihan bila anak akan menjadi cerminan dari proses pendidikan yang dihasilkan oleh seorang ibu. Baik dan benar pendidikan yang telah diterimanya sejak dini, maka akan baik dan benar pula seorang anak dalam kehidupannya nanti.

Pada tataran ini, maka ada dua kata kunci yang saling bertalian. Pertama adalah tugas wanita dan yang kedua adalah pendidikan. Dengan pendidikan, maka kualitas wanita akan menjadi lebih baik dan dengan kualitas pendidikan wanita yang baik pula, maka wanita akan mampu melaksanakan fitrahnya secara baik.

Arti penting dan strategisnya posisi kaum wanita dalam menjamin keberlangsungan hidup generasi manusia ini, Allah SWT., telah menetapkan beberapa hukum yang khusus untuk wanita. Dapat kita lihat di antaranya mengenai hukum tentang kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan keringanan kepada wanita agar dia mampu menjalankan tugasnya dengan baik, seperti: tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui dan lain sebagainya.

Semua hukum-hukum tersebut tentulah untuk melindungi wanita agar tugas utamanya
terlaksana dengan baik (sebagai ibu). Allah SWT telah menempatkan wanita dengan tugasnya sebagai ibu pada posisi yang sangat mulia, mengingat pentingnya peran ibu dalam keberlangsungan generasi manusia. Tanpa kerelaan dan keikhlasan seorang ibu memelihara janin yang dikandungnya selama lebih dari 9 (sembilan) bulan, tidak akan lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan kerelaan dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh bayinya, berperan besar terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di jalan Allah dan ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah seseorang diantara kamu merasa ridlo jika ia hamil dari hasil dengan suaminya dan suaminya merasa bangga dengan kehamilannya itu; bahwa wanita tersebut mendapat pahala sama dengan seorang prajurit yang puasa ketika berperang di jalan Allah? (HR. Ibnu Atsir).

Peranan Wanita dalam Pendidikan Generasi
Sebelum dididik oleh orang lain, wanita (yang telah menjadi ibu) adalah guru pertama bagi Seorang anak. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sejak saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut senang. Dengan demikian, maka seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun) atau sejak ibu mengandung janin, menyusui, serta mengasuhnya sampai mampu mandiri, yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Bahkan pada masa awal kehidupan anak ini, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya. Dengan demikian, peran ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses pendidikan anak, terutama di masa awal perkembangannya. Dan inilah yang menjadi dasar pada proses pendidikan selanjutnya.

Seperti yang kita ketahui, seorang anak bagaikan tabula rasa atau selembar kertas putih bersih tanpa ada coretan (tulisan) maupun warna. Orang tuanya lah yang berperan menentukan coretan-coretan dan warna apa yang akan diberikan pertama kali. Dan ini merupakan warna dasar yang akan menentukan warna apa yang akan diterima/dipilih pada proses pewarnaan selanjutnya. Kalau pewarnaan dasar telah menghasilkan warna yang khas, maka warna dasar inilah yang akan menyeleksi warna apa yang akan diterimanya dan diserap kemudian. Sebaliknya jika warna dasar tidak khas dan tidak jelas, maka tidak akan ada proses seleksi untuk menerima warna berikutnya. Bisa jadi warna apapun akan diterima sehingga menjadi warna yang berantakan (tidak khas) dan hasilnya juga akan tidak jelas. Demikianlah permisalan gambaran tentang proses pendidikan pada seorang anak dalam rangka membentuk kepribadiannya. Sebab anak memang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw :

"Tidak ada seorang anakpun yang baru lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Musyrik" (HR Muslim).


Adapun peranan wanita dalam pendidikan secara lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.Peran dalam Peningkatan Kualitas Bathiniah dan Jasmaniah
Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan). Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam
kandungannya adalah memilihkan makanan yang bergizi, halal dan baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdoa ketika merasakan setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu - menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.

Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi
lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika
pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika
ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam sebuah ”pita rekaman kaset kosong” seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu ibulah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar. Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam. Dalam nasyid juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di atas batu”. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini untuk memilih sumber belajar yang baik untuk putra dan putrinya.
Pendidikan inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu berupa olah-raga balita, sangat membantu anak dalam perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak. Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti orang dewasa.
Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku ikuti dan dijadikan idola? Dan seterusnya.
Pembiasaan akhlak yang baik tentulah sudah harus dibiasakan sejak dini. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan. Pendidikan ini adalah sangat penting, karena penentuan karakter dari anak itu sendiri bisa melalui bacaan-bacaan tentang pengetahuan budi pekerti, etika agama, dll. Seorang ibu harus kreatif dan inovatif dalam mendidik anak agar menghasilkan anak yang berkarakter baik.
Berat sekali memang peran ibu dalam pendidikan keluarga jika diteropong dengan sistem pendidikan yang benar. Namun kenyataannya, sering kali dirasakan penghargaan kepada ibu tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan. "Itu sudah kewajiban ibu", itu yang sering terdengar. Artinya, itu sebagai pembenar bahwa dalam proses memang ibulah yang harus berkewajiban melakukannya.

2.Peningkatan Kualitas Kasih dan Kualitas Sayang
Seorang ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan landasan rasa cinta dan kasih sayang yang benar, sehingga anak-anaknya pun akan mempunyai rasa cinta
dan kasih sayang yang benar pula terhadap orang tua, keluarganya, sesama umat manusia. Rasa cinta dan kasih sayang yang benar adalah yang mendahulukan rasa cinta kepada Penciptanya di atas segalanya.
Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila sfat- sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, maka besar kemungkinannnya ketika anak sudah paham dan mengerti, akhlak- akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan terimplementasi dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik, pintar, atau kaya tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia.

3.Peran dalam Penanaman Kemandirian Sikap
Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan
secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak , yakni peletak
dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat
dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut peran dan tanggung jawabnya dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran wanita sangat besar artinya dalam
pembentukan generasi di masa datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan wanita (seorang ibu) berperan mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Potensi dan kemampuan para wanita muslimah sangat berpengaruh besar membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang.

Wanita yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi yang
warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak
mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan kepribadian
dirinya. Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun yang ada didekatnya
tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya kalau
wanitanya pintar, cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkarakter yang baik, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan optimal, wanita seperti ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya.

Peran Wanita dalam Mendampingi Suami Sebagai Pemimpin Rumah Tangga
Pepatah lama mengatakan bahwa “Di belakang suami shaleh, ada istri yang shalehah”. Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak mampumenngendalikannya sendiri. Nah, saat-saat seperti inilah peran dan batuan istri sangat dibutuhkan. Istri yang baik atau shalehah selalu memberi dorongan untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam menapaki duri-duri jalanan, memberi bensin untuk tetap berjalan di atas rel yang benar. Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar.
Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami dulunya kurang baik setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab itu, peran wanita dalam mendukung suami menjadi suami yang baik sangat besar artinya.

Peran Pendidikan Wanita dari Era Global sebagai Syarat Mutlak
Dengan demikian agar peran wanita dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan generasi penerus kekhalifatulahan, maka proses pembinaan para wanita tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para wanita harus dibina dengan pendidikan yang baik dan mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan sebagai kalifatullah di muka bumi.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi berkualitas kalau dia sendiri tidak berkualitas? Apalagi kalau dorongan ruhiyahnya tidak ada. Dorongan ruhiyah sebagai kekuatan pokok yang menggerakkan seorang ibu untuk berperan optimal. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya menjauhkan diri dari sikap materialistis dan hedonis bila dia masih lebih mengutamakan kemapanan materi daripada berbuat sesuatu yang lebih mulia di hadapan Allah penciptanya. Ia masih lebih mencintai urusan dunianya daripada melakukankewajibannya kepada Allah. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan bangsa dan agamanya .

Dengan berfikir secara jernih dan mendalam, mari kita berbenah diri, membekali diri kita dengan memperkaya ilmu pengetahuan dan membentuk karakter yang baik agar kita menjadi ibu-ibu yang mampu mengubah corak generasi kita, sebagai peletak dasar warna dan corak generasi manusia di masa datang.

PUSTAKA

1.A.A.A. Ngr. Tini Rusmini Gorda, Peran Ibu Dalam Pendidikan Keluarga. 2008
2.Abdul Badi' Shaqr. Wanita-wanita Pilihan. Pustaka Manthiq. 1990.
3.Jabir Asysyaal. Al Qur'an bercerita Soal Wanita. GIP. 1989.
4.Khalid Muh. Khalid. Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat
Rasulullah. CV Diponegoro. Bandung. 1981.
5.Nashir bin Sulaiman Al-'Umr. Kedudukan Ilmu dan Ilmuwan dalam Islam.
Pustaka Al Kautsar. 1994.
6.Shahih Muslim.

BUDAYA LOKAL; SEBUAH REKONSTRUKSI MODEL KONTRIBUSI PEMUDA UNTUK PEMBANGUNAN NUSANTARA

Apa dan bagaimana bentuk partisipasi pemuda dalam
mengangkat potensi lokal berbagai bidang pembangunan?
Jawabnya tidak lain adalah “belajar”.
Belajar di dalam proses pendidikan yang baik dan benar.
Bagaiman proses pendidikan yang baik dan benar?
Tidak lain adalah proses pendidikan yang tidak
tercerabut dari akar budaya bangsanya.


Dialog tentang Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara tidak mungkin dilepas dari proses penyemaian “tunas-tunas” bangsa sebagai generasi kepemimpinan era kebangkitan Nasional Kedua. Penyemaian tunas-tunas bangsa melalui proses pendidikan yang baik dan benar tentu berkaitan sangat erat dengan pembentukan mindset dan moral bangsa. Dengan kata lain pelaksanaan “nation & character Building” jelas melalui proses pendidikan.

Era kebangkitan nasional kedua bisa diasumsikan saat tercapainya Visi Indonesia 2030, di mana anak didik Indonesia yang sekarang telah menjadi pemimpin bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Visi Indonesia 2030 adalah (1) Indonesia masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan perkapita USD 18,000; (2) Pengelolaan SDA yang berkelanjutan; (3) Kualitas hidup modern yang merata; dan (4) Sedikitnya 30 perusahaan masuk dalam daftar 500 perusahaan besar dunia.

Berangkat dari Visi Indonesia tersebut serta dalam rangka memfollow up Konggres 100 tahun Kebangkitan Nasional Yogyakarta pada tanggal 15 – 18 Mei 2008 yang lalu, maka Seminar dengan tema Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara ini diharapkan mampu menyerap, memaknai nilai-nilai kebangsaan dan kebangunan serta menyalakan api semangat kebangkitan abad ke-2 sebagai ruh kepemimpinan masa depan.
Bapak, Ibu dan seluruh lapisan pemuda nusantara yang saya cintai,
Kita sebagai masyarakat Indonesia, terlebih lagi Pemuda haruslah memiliki kemampuan melihat peluang-peluang yang potensial atau penting yang berada tepat di hadapan kita. Pemuda seharusnya bukan hanya sekedar dapat “meramal” masa depan, melainkan dapat pula menciptakannya dengan melakukan tindakan sekarang. Dengan kata lain pemuda harus memiliki visi. Sebagaimana yang ditulis oleh James C. Collins & Jerri I. Porras dalam “Purpose, Mission, and Vision”: “Memiliki visi bukan berarti berjalan di awan, tetapi membuka mata, pikiran dan hati dengan kepercayaan diri untuk mengikuti pandangan dan intuisi terhadap apa yang dapat atau harus dilakukan segera”.

Visi Indonesia 2030 adalah suatu perkiraan situasi masa depan yang direncanakan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan perhitungan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sehingga sudah selayaknyalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pemuda dapat menyelaraskan visi bersama tersebut hingga ketahapan pemahaman, bahwa visi bersama tersebut bukan hanya sekedar mimpi, karena mimpi akan berakhir saat mereka terjaga dari tidurnya. Tetapi visi harus berkesinambungan dengan implementasi dan agenda aksi.

Berkorelasi dengan itu, maka pendidikan menempati posisi yang sangat strategis. Jalan utama untuk mengembalikan martabat dan derajat bangsa tidak lain adalah melalui pendidikan. Selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ikujiro Nonaka mantan direktur UNESCO bahwa; in a situation where the only certainty in uncertainty, the one sure source of lasting competitive advantage is education.

Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan kepada penerusnya. Demikian kata Ki Hajar Dewantara …

…mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Selaras dengan itu, John Dewey seorang filosof pendidikan berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.

Jadi maksud dari tujuan pendidikan adalah agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami dan mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatar belakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.

Bapak, Ibu dan Seluruh rekan Pemuda Nusantara, Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan. Penyingkapan-penyingkapan rahasia alam oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan manusia untuk mengeksploitasinya. Rasa ketergantungan manusia tehadap alam seolah telah dapat diatasi, bahkan manusia telah berhasil menguasai alam guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, bahkan lebih jauh manusia pun telah mampu untuk mengatur dan merekayasa alam dan pola sosial budayanya yang sedemikian rupa sehingga manusia mampu menciptakan “sorga-sorga” dunia dengan lingkungan yang nyaman, aman dan menyenangkan.
Usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut adalah salah satu tujuan hidup manusia di dunia. Oleh karena itu sistem pendidikan harus mengarah kepada usaha penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan cara itulah manusia dapat mewujudkan kehidupan surgawi di dunia ini. Sayangnya, pada saat ini pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern masih terbatas pada negara-negara maju saja. Ini artinya bahwa bangsa-bangsa maju tersebut dapat menguasai dan mengendalikan kehidupan bangsa-bangsa lain di dunia ini, baik secara ekonomis, politis, maupun sosial budaya dan kemasyarakatan, sementara di sisi lain bahwa bangsa-bangsa yang tidak mampu untuk mengembangkan potensi akan tetap menggantungkan hidupnya terhadap bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila eksploitasi dan penjajahan model baru pun tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa yang masih terkebelakang.
Untuk menghindari sifat ketergantungan bangsa-bangsa terkebelakang, tidak lain adalah mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, proses pendidikan tidak boleh tidak harus diarahkan ke sena. Memang untuk mewujudkan proses pendidikan seperti itu tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya dukungan yang menyeluruh, baik dari segi sumber daya insani, alam maupun dana yang besar. Dalam kenyataannya, negara-negara yang belum berkembang atau sedang berkembang belum mampu untuk mengembangkan sistem pendidikan yang demikian, sehingga kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup warga negaranya juga sangat terbatas.
Pemuda Nusantara yang saya cintai, John Naisbitt dan Patricia Aburdane, dalam Megatrend 2000 mengatakan bahwa ketika kemajuan kehidupan umat manusia yang begitu pesat yang ditandai dengan perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi yang mengaburkan semua hal – membuat dunia seperti kehilangan sekat – hanya satu yang tersisa sebagai alat pijakan dan identitas manusia, yaitu kebudayaan selain agama. Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Dan apabila orang menemukan diri, maka ia akan dapat memahami negeri, atau lebih jauh, akan menemukan Tuhan yang Maha Tinggi.
Perkuatan budaya lokal merupakan satu jawaban untuk mengantisipasi keterpurukan bangsa Indonesia dewasa ini. Nilai-nilai luhur bangsa, kearifan lokal/indigenous knowledge adalah garda terakhir bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu perlu menumbuhkan kembali semangat perjuangan dan cita-cita kebangsaan yang didasarkan pada terciptanya transformasi kebudayaan yang berwatak kerakyatan sejak dini kepada generasi penerus:

1.bagaimana memperbaharui kembali gagasan bangsa sebagai rumah bersama, sekaligus rumah perjuangan hidup bersama yang dipenuhi solidaritas-keadilan-kemanusiaan
2.Bagaimana memulihkan kebudayaan sebagai reservoir sekaligus bahasa dialektika peradaban dan makna kehidupan
3.Bagaimana menjadikan rakyat kembali berperan pada tata politik, tata ekonomi dan tata kebudayaan kita, Republik Indonesia.

Kecendrungan untuk kembali ke kebudayaan bukanlah sesuatu yang baru, dewasa ini, negara-negara maju, apakah itu Amerika, Jepang, Cina dan negara-negara Eropa mulai kembali ke rumah kebudayaan mereka masing-masing. Ini disebabkan ternyata di depan mereka terbentang padang yang luas dan hutan yang begitu liar. Sebuah kenyataan bahwa kemajuan yang dicapai ternyata memangsa anak-anak mereka dari sisi spiritual. Amerika telah mewajibkan generasi penerusnya mendalami kebudayaan, Cina kembali menghayati Kong Fu Tse (Confucius), Jepang membolak-balik ajaran Bushido dan Zen Budhis. Nampaknya mereka mulai memahami dan merasakan apa yang pernah ditulis oleh Matthew Arnold bahwa kebudayaan merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan berbau dagang.

Selaras dengan itu, William Butler Yeats, seorang pemenang Nobel sastra dari Irlandia yang menulis tentang Negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lain. Dengan kata lain bahwa sebuah negeri yang menafikkan kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju apa pun capaian yang telah diraih. Keseimbangan antara material dan spiritual adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya bila tidak ingin semua hal yang sudah dibangun dengan susah payah menjadi sesuatu yang kehilangan makna.

Para Generasi Muda yang saya banggakan, Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang tepat. Pemimpin yang bukan hanya sekedar figur, tetapi pemimpin yang memiliki kemampuan leadership. Leadership artinya adalah action. Kisah Andrea, seorang murid kesayangan Aristoteles pernah berteriak: “Alangkah sedihnya tanah ini, karena Ia butuh pahlawan!”. Jangan sampai pula, teriakan serupa muncul kembali di tanah air kita.

Untuk itu maka, reformasi bidang pendidikan yang dilaksanakan harus mampu melahirkan pemimpin yang mampu membuat keputusan politik yang benar. Artinya, keputusan yang relevan dengan persoalan bangsa. Di samping itu, reformasi pendidikan harus bisa memberikan kemampuan kepada generasi muda untuk memahami dan menghadapi zamannya secara cerdas dan lincah. Menurut Mochtar Buchori, ada empat langkah dasar yang diperlukan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Pertama, pemikiran tentang pendidikan tidak boleh diceraikan dari pemikiran tentang masalah politik. Tradisi pemisahan seperti ini telah menghasilkan tenaga pendidik yang tidak saja buta politik, tetapi menjadi alergi, bahkan takut kepada politik. Kedua, sekolah harus mengajarkan kepada murid kecakapan untuk menangkap berbagai jenis makna. Jadi, sekolah tidak hanya mengajarkan cara menghimpun pengetahuan tanpa pemahaman yang benar dan penuh. Ketiga, pemikiran tentang pendidikan harus dilakukan secara antisipatoris. Jangkauan waktu antisipasi tentang pendidikan harus jauh ke depan sehingga pendidikan bisa membekali anak didik dengan pengetahuan, nilai, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keempat, perlunya pendidikan kewarganegaraan untuk menanamkan kesadaran demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan ini harus mengacu kepada kenyataan sosio-kultur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Anak didik perlu diajarkan tentang bagaimana cara hidup dalam masyarakat majemuk secara damai dan produktif, sehingga anak didik bisa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang demokratis.

Keteladanan pemimpin menjadi sesuatu yang sangat penting, yang kalau dalam bahasa Andrea adalah Pahlawan. Keteladanan pemimpin dapat dilihat pada Soewardi Soerjaningrat yang telah menggambarkan dengan sangat tepat semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara. Demikian pula, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dalam pidato pengukuhannya berucap: “Walaupun saya dididik cara Barat (baca: Globalisasi), Saya tetaplah orang Jawa (baca: Indonesia)”. Pernyataan ini menggambarkan sikap nasionalisme budaya progresif yang membuat Belanda sempat tercengang. Dalam bagian lain pidatonya, beliau berucap, “Ijinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”. Beliau tanpa ragu menyebut “untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa”, jelas menunjukkan sikap patriotisme sejati di tengah cengkraman kekuasaan Belanda saat itu. Penggal anak kalimat lain, “sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”, dibuktikannya dengan tindakan nyata lebih dari apa yang dijanjikannya, ketika di saat-saat genting sekitar Proklamasi, beliau menerbitkan maklumat 5 September 1945 yang menyatakan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Mewujudkan Kebangkitan Nasional Kedua membutuhkan kesadaran, kehendak dan upaya bersama. Usaha ini harus didasarkan pada harkat dan martabat, keteguhan hati, kepastian tujuan dan keyakinan pada kemampuan bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa sebagai karunia Tuhan.

Hakikat pembangunan bangsa adalah tidak lain dari pada mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan manusianya. Sejarah Indonesia baru saja membuktikan bahwa ternyata kekayaan alam tidak juga membawa kemakmuran global, kekayaan budaya dan kelimpahan penduduk tidak membawa kekuatan pengubah dan keberagaman, dan lebih jauh lagi bahwa karunia yang telah diberikan Tuhan terhadap bangsa ini ternyata tidak mendorong semangat untuk penggubah.

Guna mewujudkan hakikat pembangunan di atas, perlu kiranya untuk menerapkan dan memanfaatkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kata kunci untuk keberhasilan pembangunan di masa datang adalah peningkatan kualitas manusia yang pada akhirnya dapat memperkuat daya saing ekonomi secara global, meningkatkan prokduktivitas, mempertinggi nilai tambah dan membuka peluang lapangan kerja baru.