Sabtu, 20 Maret 2010

PEMILU UNTUK INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA


Demokrasi hanyalah untuk orang yang “pintar” dan “kenyang” Bila tujuan demokrasi pada akhirnya untuk kepentingan rakyat, maka pertanyaannya adalah: “rakyat harus sejahtera dahulu atau rakyat paham hakekat demokrasi?
Membaca term of reference seminar Pendidikan Politik Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Yogykarta bekerjasama dengan KPU Daerah Istimewa Yogykarta mensiratkan akan kesadaran tentang pemilu sebagai sebuah mekanisme demokrasi. Mekanisme ini menjadi kunci kemapanan dan kematangan budaya politik demokrasi. Dengan kata lain, kian matang demokrasi kita, kian beradab dan bermutu pula pemilu yang kita selenggarakan. Untuk mematangkan demokrasi tersebut maka diperlukan pula proses pendewasaan demokrasi.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah proses pendewasaan demokrasi ini akan berjalan tuntas hingga mencapai proses kematangannya? Sementara sejarah pun sudah mencatat mulai dari Athena hingga ke era moderen saat ini, belum ada satu orang pun yang puas akan teori-teori dan implementasinya. Amerika, sebuah negara yang dianggap soko guru demokrasi modern sekali pun, oleh Francis Fukuya disebut sudah menjadi rutin dan kehilangan elannya atau yang lebih dikenal sebagai democracy without of chest (demokrasi tanpa semangat).

Mencermati pendapat filosof berkebangsaan Amerika tersebut, tentulah kegelisahan yang muncul terhadap demokrasi di negara kita dapat dipahami; jangan-jangan sebelum kita menikmati proses pendewasaan apalagi kematangan demokrasi, kita malah sudah kehilangan elannya. Di sisi lain bahwa psoses dan seremonial penyelenggaraan pemilu tentulah berkorelasi positif dengan biaya yang besar, sementara itu kita sangat sadar bahwa dengan biaya itu kita harus bisa membeli sesuatu yang lebih berharga bagi bangsa dari pada hanya untuk mengongkosi sebuah "pesta demokrasi". Persoalan ini belum lagi ditambah dengan bagaimakah mewujudkan proses demokrasi ini berjalan dengan aman dan damai dan pada akhirnya dapat melahirkan kader-kader terbaik atau "tercerahkan".

Memahami Hakikat Demokrasi
Lincoln di pemakaman para pahlawan perang saudara Amerika, Gettysburg, Pennsylvania bulan November tanggal 19, tahun 1863 sebagaimana yang diungkapkan oleh Mohamad Mova Al ‘Afghani dalam makalahnya Pemilihan Umum dan Ilusi Demokrasi mengatakan...

...that we here highly resolve that these dead shall not have died in vain; that the nation shall, under God, have a new birth of freedom, and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”

Pada akhir kalimat Lincoln “...government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth” adalah inti dari demokrasi Yunani. Dalam pidato yang sama juga Lincoln mengemukakan elemen-elemen penting dalam demokrasi tersebut di antaranya adalah “all men are created equal”. Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke 6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. Di lapangan polis-polis tersebut, apa yang disebut “people” (warga negara laki-laki) oleh orang Yunani Kuno berkumpul membentuk Assembly dan menetapkan sebuah keputusan. Pengambilan suara secara manual dan langsung (direct democracy) pada abad ke-5 ini melibatkan 300.000 warga, di mana penyelenggara meminta warga Negara yang menyetujui suatu pilihan-- katakanlah “pilihan A”-- untuk pindah ke sisi sebelah kanan. Kadang-kadang, kotak suara juga dipergunakan dalam pemilihan. Demokrasi, bagi mereka, adalah kesejajaran dalam memberikan keputusan.

Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politika ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

Perkembangan Demokrasi
Dengan berjalannya waktu, istilah demokrasi ini telah banyak berubah, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Konsep demokrasi (demos dan cratein) yang berakar dari tradisi Yunani Kuno seperti yang tersebut di atas dan demokrasi konsep representasi yang berakar dari sistem feodal yang berkembang kemudian telah melahirkan sebuah konsep demokrasi modern yang sama sekali berbeda.. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan.
Konsep representasi timbul ketika kalangan rakyat jelata (peasant) protes karena kaum bangsawan menaikkan pajaknya dengan berbagai macam alasan (utamanya untuk biaya peperangan). Karena tidak mungkin mereka semua bicara satu persatu dengan sang raja, terpaksa aspirasi mereka harus disalurkan lewat wakil-wakilnya (representatives). Proses tawar menawar mereka dengan bangsawan kemudian menjadi lembaga perwakilan (representation). Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.

Ilusi Demokrasi
Jauh-jauh hari, filsuf seperti Aristoteles mengungkapkan bahwa demokrasi seperti yang kita alami sekarang, di mana kita memilih orang-orang untuk diberi mandat mengurusi kehidupan publik bukanlah demokrasi sama sekali. Demokrasi modern yang menggabungkan dua konsep tersebut di atas sebenarnya melahirkan “ilusi demokrasi”. Yang dimaksud dengan “ilusi demokrasi” adalah perasaan keikutsertaan rakyat banyak terhadap pemerintahan karena mereka telah berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Penolakan Aristoteles tersebut dapatlah dipahami. Sebagaimana ilustrasi yang ditulis Muhammad Mova dalam Ilusi Demokrasi megetakan bahwa pada umumnya, orang beranggapan apabila setelah ikut pemilihan umum mereka telah menentukan jalannya pemerintahan. Padahal, pada kenyataannya aspirasi rakyat akan selalu mengalami distorsi. Pada demokrasi perwakilan yang kita praktekkan sekarang ini, logikanya 1 orang dipilih untuk mewakili –misalnya-- 400.000 konsituennya. Artinya, 1 orang anggota DPR tersebut seharusnya bisa menyerap dan menyuarakan aspirasi dari sejumlah 400.000 orang. Pada prakteknya, kita tidak pernah sekalipun mendengar bahwa secara faktual, aspirasi dari 400.000 orang tersebut disalurkan kepada wakilnya. Tidak pernah, seorang anggota DPR ketika akan membuat undang-undang, kembali kepada daerah pemilihannya dan menanyakan kepada konstituennya, apakah para pemilihnya itu menyetujui pasal-per-pasal apa dari rancangan undang-undang yang akan di sah kan itu. Realitanya, mereka hanya akan duduk di ruangan sidang dan mengasumsikan bahwa rakyat yang mereka wakili menyetujui apa-apa yang mereka bahas. Suara satu anggota parlemen dianggap sebagai penjelmaan dari suara ratusan ribu pemilihnya. Padahal, apabila ditanyakan kepada rakyat yang diwakili, belum tentu mereka setuju terhadap apa-apa yang tertulis dalam undang-undang. Distorsi demokrasi lebih jauh terbukti dengan dikeluarkannya undang-undang yang merupakan “pesanan” pihak asing.

Dalam The Ruling Class, Gaetano Mosca menggambarkan tentang adanya struktur masyarakat yang selalu ada dikotomi antara yang diatur dan yang mengatur. Kelas yang mengatur (the ruling class), baik berupa golongan bangsawan pada zaman foedal atau elit politik dan pemilik modal pada zaman demokrasi modern selalu berjumlah lebih sedikit dan lebih pintar dari pada kelas yang diatur. Sebaliknya, kelas yang diatur selalu berjumlah lebih banyak, dan tentu saja, lebih bodoh.

Lebih lanjut Gaestano Mosca mengungkapkan bahwa kelas yang diatur adalah kelas yang selalu dijadikan pion dalam mempertahankan kekuasaan. Pada zaman feodal mereka merupakan kalangan prajurit rendahan dan petani. Prajurit hidup dari gaji dan petani hidup dari tanah garapannya. Kelas yang mengatur (the ruler) pada zaman feodal menyebarkan propaganda kekuasaan dalam bentuk legenda, mitologi dan bahkan agama formal. Caranya adalah dengan membuat kepercayaan bahwa raja dan bangsawan merupakan keturunan, atau titisan dari dewa-dewa tertentu. Dengan menyebarkan paham demikian, kalangan bangsawan dan kerajaan akan memperoleh legitimasi kekuasaan. Rakyat yang diperintahnya memang ditanamkan untuk bersikap inferior terhadap keluarga kerajaan, karena menentang kerajaan berarti menentang keyakinan mereka sendiri.

Relevan dengan apa yang ditulis oleh Gaestano, apabila kita amati di zaman demokrasi modern ini, maka kelas yang diatur dan dieksploitasi adalah kalangan buruh dan pekerja. Faktor-faktor Ruling Class seperti yang terjadi pada masyarakat feodal tetap dapat ditemukan pada masyarakat demokrasi modern. Salah satunya adalah faktor keturunan (hereditary). Seperti halnya pada masyarakat feodal yang memperoleh status ruler karena keturunan, pada masyarakat demokrasi modern pun banyak dijumpai individu-individu yang memasuki kancah perpolitikan karena hal ini. Memang, dalam masyarakat demokrasi modern, faktor keturunan bukanlah faktor langsung yang menentukan seperti dalam masa feodal. Artinya, apabila bapaknya presiden, tidak otomatis anaknya menjadi presiden. Tapi, faktor keturunan mengambil bentuk yang lain, yakni timbulnya dinasti-dinasti politik. Hampir di semua negara terdapat dinasti-dinasti politik. Dinasti Bush dan Kennedy di Amerika, Dinasti Gandhi di India, Dinasti Bhutto di Pakistan, Dinasti Aquino di Filipina dan Dinasti Soekarno-Wahid di Indonesia. (Muhammad Mova; 2004)

Pemilu Indonesia di Masa Depan dan Pentingnya Pendidikan Politik
Renungan pribadi seperti yang tertulis di awal makalah ini, tentulah dilatarbelakangi oleh proses demokrasi di tanah air yang kita alami bersama. Kita sudah bersepakat bahwa negara kita memilih sistem demokrasi. Maka tidak ada kata tidak bahwa sistem demokrasi di tanah air harus terus diperbaiki. Penulis yakin bahwa tidak ada konsep yang dibuat oleh manusia itu sempurna, termasuk sistem demokrasi, apakah itu warisan Athena, kaum feodal atau pun kita buat model sendiri. Untuk menutupi ketidak sempurnaan sistem tersebut, maka kata kuncinya adalah kualitas manusianya.

Kita baru saja menjalankan proses pemilihan legislatif. Pada saat ini kita sedang menjalankan proses pemilihan presiden. Semua media, baik cetak maupun elektronik, masyaraka mulai dari tingkat bawah hingga atas sibuk mendiskusikannya. Apa pun hasilnya tentulah pertanyaan utamanya apakah kita sudah benar-benar menjalankan maksud dari demokrasi? Apakah justru pemilu yang merupakan mekanisme demokrasi justru tidak membuat kita “trauma” sebagai bangsa?

Untuk itu, kata kunci keberhasilan pemilu di masa depan adalah pada arti pentingnya Pendidikan Politik. Untuk menciptakan sebuah pemilu Indonesia yang baik di masa depan, maka institusi pendidikan harus mampu menyiapkan pendidikan politik bagi elite dan masyarakat. Sehingga partai politik dan masyarakat pada umumnya tidak hanya tertuju pada pergantian kekuasaan dan kepentingan organisasi atau partainya semata.

Bila pendidikan politik ini dapat berjalan, maka akan terbentuklah generasi politik di mana masa depan. Sayangnya, menurut Mochtar Buchori bahwa keadaan generasi politik sekarang masih dipimpin oleh orang yang tidak memiliki kearifan politik, sehingga dalam membuat keputusan politik menjadi tidak benar yang akibat komulatifnya adalah krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Padahal, Indonesia pernah memiliki generasi pemimpin bangsa yang arif dan bijaksana. Lanjut Muchtar Buchori …

…sejak tahun 1959 secara berangsur-angsur kearifan dalam berpolitik ini menurun. Dan, akhirnya kini kita dipimpin oleh suatu generasi politik yang keputusan-keputusan politiknya serba salah.

Untuk itu maka, dengan pendidikan yang dilaksanakan harus mampu melahirkan pemimpin yang mampu membuat keputusan politik yang benar. Artinya, keputusan yang relevan dengan persoalan bangsa. Di samping itu, pendidikan politik harus bisa memberikan kemampuan kepada generasi muda untuk memahami dan menghadapi zamannya secara cerdas dan lincah. Menurut Mochtar, ada empat langkah dasar yang diperlukan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Pertama, pemikiran tentang pendidikan tidak boleh diceraikan dari pemikiran tentang masalah politik. Tradisi pemisahan seperti ini telah menghasilkan tenaga pendidik yang tidak saja buta politik, tetapi menjadi alergi, bahkan takut kepada politik. Kedua, sekolah harus mengajarkan kepada murid kecakapan untuk menangkap berbagai jenis makna. Jadi, sekolah tidak hanya mengajarkan cara menghimpun pengetahuan tanpa pemahaman yang benar dan penuh. Ketiga, pemikiran tentang pendidikan harus dilakukan secara antisipatoris. Jangkauan waktu antisipasi tentang pendidikan harus jauh ke depan sehingga pendidikan bisa membekali anak didik dengan pengetahuan, nilai, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keempat, perlunya pendidikan kewarganegaraan untuk menanamkan kesadaran demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan ini harus mengacu kepada kenyataan sosio-kultur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Anak didik perlu diajarkan tentang bagaimana cara hidup dalam masyarakat majemuk secara damai dan produktif, sehingga anak didik bisa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang demokratis.

Pemilu sebagai sebuah mekanisme demokrasi tidak akan pernah membuat masyarakat menjadi puas secara substansial, apabila masyarakatnya sendiri berada dalam kondisi “bodoh” dan “lapar”. Yakinlah bahwa secara prosedural dan artificial kita telah berhasil melaksanakan pemilu dengan aman dan mungkin akan mendapat pujian dari negara manca, tapi yakinlah pula bahwa selagi masyarakat berada dalam kondisi “bodoh” dan “lapar” kita tidak akan menjumpai pemilu yang jujur dan adil. Pada tahapan masyarakat sudah mencapai kesejahteraan ekonomi dan pendidikan yang baik, maka sistem apa pun bisa menjadi baik. Melihat negara tetangga, utamanya Singapura, penulis yakin negara tersebut dalam pemilihan pemimpinnya, secara prosedural jauh dari proses demokratis, tetapi warga negara mereka tidak pernah berteriak bahwa pemilu mereka curang dan pemimpin yang mereka pilih adalah orang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar