Sabtu, 20 Maret 2010

BUDAYA LOKAL; SEBUAH REKONSTRUKSI MODEL KONTRIBUSI PEMUDA UNTUK PEMBANGUNAN NUSANTARA

Apa dan bagaimana bentuk partisipasi pemuda dalam
mengangkat potensi lokal berbagai bidang pembangunan?
Jawabnya tidak lain adalah “belajar”.
Belajar di dalam proses pendidikan yang baik dan benar.
Bagaiman proses pendidikan yang baik dan benar?
Tidak lain adalah proses pendidikan yang tidak
tercerabut dari akar budaya bangsanya.


Dialog tentang Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara tidak mungkin dilepas dari proses penyemaian “tunas-tunas” bangsa sebagai generasi kepemimpinan era kebangkitan Nasional Kedua. Penyemaian tunas-tunas bangsa melalui proses pendidikan yang baik dan benar tentu berkaitan sangat erat dengan pembentukan mindset dan moral bangsa. Dengan kata lain pelaksanaan “nation & character Building” jelas melalui proses pendidikan.

Era kebangkitan nasional kedua bisa diasumsikan saat tercapainya Visi Indonesia 2030, di mana anak didik Indonesia yang sekarang telah menjadi pemimpin bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Visi Indonesia 2030 adalah (1) Indonesia masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan perkapita USD 18,000; (2) Pengelolaan SDA yang berkelanjutan; (3) Kualitas hidup modern yang merata; dan (4) Sedikitnya 30 perusahaan masuk dalam daftar 500 perusahaan besar dunia.

Berangkat dari Visi Indonesia tersebut serta dalam rangka memfollow up Konggres 100 tahun Kebangkitan Nasional Yogyakarta pada tanggal 15 – 18 Mei 2008 yang lalu, maka Seminar dengan tema Rekonstruksi Model Kontribusi Pemuda untuk Pembangunan Nusantara ini diharapkan mampu menyerap, memaknai nilai-nilai kebangsaan dan kebangunan serta menyalakan api semangat kebangkitan abad ke-2 sebagai ruh kepemimpinan masa depan.
Bapak, Ibu dan seluruh lapisan pemuda nusantara yang saya cintai,
Kita sebagai masyarakat Indonesia, terlebih lagi Pemuda haruslah memiliki kemampuan melihat peluang-peluang yang potensial atau penting yang berada tepat di hadapan kita. Pemuda seharusnya bukan hanya sekedar dapat “meramal” masa depan, melainkan dapat pula menciptakannya dengan melakukan tindakan sekarang. Dengan kata lain pemuda harus memiliki visi. Sebagaimana yang ditulis oleh James C. Collins & Jerri I. Porras dalam “Purpose, Mission, and Vision”: “Memiliki visi bukan berarti berjalan di awan, tetapi membuka mata, pikiran dan hati dengan kepercayaan diri untuk mengikuti pandangan dan intuisi terhadap apa yang dapat atau harus dilakukan segera”.

Visi Indonesia 2030 adalah suatu perkiraan situasi masa depan yang direncanakan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan perhitungan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sehingga sudah selayaknyalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pemuda dapat menyelaraskan visi bersama tersebut hingga ketahapan pemahaman, bahwa visi bersama tersebut bukan hanya sekedar mimpi, karena mimpi akan berakhir saat mereka terjaga dari tidurnya. Tetapi visi harus berkesinambungan dengan implementasi dan agenda aksi.

Berkorelasi dengan itu, maka pendidikan menempati posisi yang sangat strategis. Jalan utama untuk mengembalikan martabat dan derajat bangsa tidak lain adalah melalui pendidikan. Selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ikujiro Nonaka mantan direktur UNESCO bahwa; in a situation where the only certainty in uncertainty, the one sure source of lasting competitive advantage is education.

Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan kepada penerusnya. Demikian kata Ki Hajar Dewantara …

…mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Selaras dengan itu, John Dewey seorang filosof pendidikan berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.

Jadi maksud dari tujuan pendidikan adalah agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami dan mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatar belakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.

Bapak, Ibu dan Seluruh rekan Pemuda Nusantara, Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan. Penyingkapan-penyingkapan rahasia alam oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah memungkinkan manusia untuk mengeksploitasinya. Rasa ketergantungan manusia tehadap alam seolah telah dapat diatasi, bahkan manusia telah berhasil menguasai alam guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, bahkan lebih jauh manusia pun telah mampu untuk mengatur dan merekayasa alam dan pola sosial budayanya yang sedemikian rupa sehingga manusia mampu menciptakan “sorga-sorga” dunia dengan lingkungan yang nyaman, aman dan menyenangkan.
Usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut adalah salah satu tujuan hidup manusia di dunia. Oleh karena itu sistem pendidikan harus mengarah kepada usaha penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan cara itulah manusia dapat mewujudkan kehidupan surgawi di dunia ini. Sayangnya, pada saat ini pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern masih terbatas pada negara-negara maju saja. Ini artinya bahwa bangsa-bangsa maju tersebut dapat menguasai dan mengendalikan kehidupan bangsa-bangsa lain di dunia ini, baik secara ekonomis, politis, maupun sosial budaya dan kemasyarakatan, sementara di sisi lain bahwa bangsa-bangsa yang tidak mampu untuk mengembangkan potensi akan tetap menggantungkan hidupnya terhadap bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila eksploitasi dan penjajahan model baru pun tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa yang masih terkebelakang.
Untuk menghindari sifat ketergantungan bangsa-bangsa terkebelakang, tidak lain adalah mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, proses pendidikan tidak boleh tidak harus diarahkan ke sena. Memang untuk mewujudkan proses pendidikan seperti itu tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya dukungan yang menyeluruh, baik dari segi sumber daya insani, alam maupun dana yang besar. Dalam kenyataannya, negara-negara yang belum berkembang atau sedang berkembang belum mampu untuk mengembangkan sistem pendidikan yang demikian, sehingga kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup warga negaranya juga sangat terbatas.
Pemuda Nusantara yang saya cintai, John Naisbitt dan Patricia Aburdane, dalam Megatrend 2000 mengatakan bahwa ketika kemajuan kehidupan umat manusia yang begitu pesat yang ditandai dengan perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi yang mengaburkan semua hal – membuat dunia seperti kehilangan sekat – hanya satu yang tersisa sebagai alat pijakan dan identitas manusia, yaitu kebudayaan selain agama. Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Dan apabila orang menemukan diri, maka ia akan dapat memahami negeri, atau lebih jauh, akan menemukan Tuhan yang Maha Tinggi.
Perkuatan budaya lokal merupakan satu jawaban untuk mengantisipasi keterpurukan bangsa Indonesia dewasa ini. Nilai-nilai luhur bangsa, kearifan lokal/indigenous knowledge adalah garda terakhir bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu perlu menumbuhkan kembali semangat perjuangan dan cita-cita kebangsaan yang didasarkan pada terciptanya transformasi kebudayaan yang berwatak kerakyatan sejak dini kepada generasi penerus:

1.bagaimana memperbaharui kembali gagasan bangsa sebagai rumah bersama, sekaligus rumah perjuangan hidup bersama yang dipenuhi solidaritas-keadilan-kemanusiaan
2.Bagaimana memulihkan kebudayaan sebagai reservoir sekaligus bahasa dialektika peradaban dan makna kehidupan
3.Bagaimana menjadikan rakyat kembali berperan pada tata politik, tata ekonomi dan tata kebudayaan kita, Republik Indonesia.

Kecendrungan untuk kembali ke kebudayaan bukanlah sesuatu yang baru, dewasa ini, negara-negara maju, apakah itu Amerika, Jepang, Cina dan negara-negara Eropa mulai kembali ke rumah kebudayaan mereka masing-masing. Ini disebabkan ternyata di depan mereka terbentang padang yang luas dan hutan yang begitu liar. Sebuah kenyataan bahwa kemajuan yang dicapai ternyata memangsa anak-anak mereka dari sisi spiritual. Amerika telah mewajibkan generasi penerusnya mendalami kebudayaan, Cina kembali menghayati Kong Fu Tse (Confucius), Jepang membolak-balik ajaran Bushido dan Zen Budhis. Nampaknya mereka mulai memahami dan merasakan apa yang pernah ditulis oleh Matthew Arnold bahwa kebudayaan merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan berbau dagang.

Selaras dengan itu, William Butler Yeats, seorang pemenang Nobel sastra dari Irlandia yang menulis tentang Negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lain. Dengan kata lain bahwa sebuah negeri yang menafikkan kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju apa pun capaian yang telah diraih. Keseimbangan antara material dan spiritual adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya bila tidak ingin semua hal yang sudah dibangun dengan susah payah menjadi sesuatu yang kehilangan makna.

Para Generasi Muda yang saya banggakan, Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang tepat. Pemimpin yang bukan hanya sekedar figur, tetapi pemimpin yang memiliki kemampuan leadership. Leadership artinya adalah action. Kisah Andrea, seorang murid kesayangan Aristoteles pernah berteriak: “Alangkah sedihnya tanah ini, karena Ia butuh pahlawan!”. Jangan sampai pula, teriakan serupa muncul kembali di tanah air kita.

Untuk itu maka, reformasi bidang pendidikan yang dilaksanakan harus mampu melahirkan pemimpin yang mampu membuat keputusan politik yang benar. Artinya, keputusan yang relevan dengan persoalan bangsa. Di samping itu, reformasi pendidikan harus bisa memberikan kemampuan kepada generasi muda untuk memahami dan menghadapi zamannya secara cerdas dan lincah. Menurut Mochtar Buchori, ada empat langkah dasar yang diperlukan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Pertama, pemikiran tentang pendidikan tidak boleh diceraikan dari pemikiran tentang masalah politik. Tradisi pemisahan seperti ini telah menghasilkan tenaga pendidik yang tidak saja buta politik, tetapi menjadi alergi, bahkan takut kepada politik. Kedua, sekolah harus mengajarkan kepada murid kecakapan untuk menangkap berbagai jenis makna. Jadi, sekolah tidak hanya mengajarkan cara menghimpun pengetahuan tanpa pemahaman yang benar dan penuh. Ketiga, pemikiran tentang pendidikan harus dilakukan secara antisipatoris. Jangkauan waktu antisipasi tentang pendidikan harus jauh ke depan sehingga pendidikan bisa membekali anak didik dengan pengetahuan, nilai, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keempat, perlunya pendidikan kewarganegaraan untuk menanamkan kesadaran demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan ini harus mengacu kepada kenyataan sosio-kultur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Anak didik perlu diajarkan tentang bagaimana cara hidup dalam masyarakat majemuk secara damai dan produktif, sehingga anak didik bisa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang demokratis.

Keteladanan pemimpin menjadi sesuatu yang sangat penting, yang kalau dalam bahasa Andrea adalah Pahlawan. Keteladanan pemimpin dapat dilihat pada Soewardi Soerjaningrat yang telah menggambarkan dengan sangat tepat semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara. Demikian pula, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dalam pidato pengukuhannya berucap: “Walaupun saya dididik cara Barat (baca: Globalisasi), Saya tetaplah orang Jawa (baca: Indonesia)”. Pernyataan ini menggambarkan sikap nasionalisme budaya progresif yang membuat Belanda sempat tercengang. Dalam bagian lain pidatonya, beliau berucap, “Ijinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”. Beliau tanpa ragu menyebut “untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa”, jelas menunjukkan sikap patriotisme sejati di tengah cengkraman kekuasaan Belanda saat itu. Penggal anak kalimat lain, “sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya”, dibuktikannya dengan tindakan nyata lebih dari apa yang dijanjikannya, ketika di saat-saat genting sekitar Proklamasi, beliau menerbitkan maklumat 5 September 1945 yang menyatakan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Mewujudkan Kebangkitan Nasional Kedua membutuhkan kesadaran, kehendak dan upaya bersama. Usaha ini harus didasarkan pada harkat dan martabat, keteguhan hati, kepastian tujuan dan keyakinan pada kemampuan bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa sebagai karunia Tuhan.

Hakikat pembangunan bangsa adalah tidak lain dari pada mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan manusianya. Sejarah Indonesia baru saja membuktikan bahwa ternyata kekayaan alam tidak juga membawa kemakmuran global, kekayaan budaya dan kelimpahan penduduk tidak membawa kekuatan pengubah dan keberagaman, dan lebih jauh lagi bahwa karunia yang telah diberikan Tuhan terhadap bangsa ini ternyata tidak mendorong semangat untuk penggubah.

Guna mewujudkan hakikat pembangunan di atas, perlu kiranya untuk menerapkan dan memanfaatkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kata kunci untuk keberhasilan pembangunan di masa datang adalah peningkatan kualitas manusia yang pada akhirnya dapat memperkuat daya saing ekonomi secara global, meningkatkan prokduktivitas, mempertinggi nilai tambah dan membuka peluang lapangan kerja baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar