Sabtu, 20 Maret 2010

ETOS DAN BUDAYA KREATIF


Indonesia seharusnya dapat menjadi salah satu motor bagi pertumbuhan industri kreatif. Betapa tidak, Indonesia yang sangat kaya akan potensi seperti keragaman budaya, sumber daya manusia yang berlimpah dengan berbagai keunggulan semakin membuka minat masyarakat terhadap industri kreatif. Di sisi lain, kita juga harus sadar diri bahwa masih banyak kelemahan ketika kita bersepakat bahwa Indonesia ingin menjadi penggerak di bidang ini. Beberapa catatan singkat yang bisa kita paparkan seperti sumber daya berlimpah itu masih belum memiliki atau belum dipicu kemampuan kreatifitasnya secara maksimal, hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan hukum yang sangat lemah, ketidakmampuan memasuki pasar global, hingga faktor kinerja birokrasi yang tidak efektif.



Industri Kreatif dan Etos Kreatif
Walau pun agak terlambat - yang memang budaya terlambat masih menjadi ciri khas bangsa ini, kita akhirnya sadar bahwa industri kreatif memiliki potensi yang luar biasa besar. Ini ditandai dengan “semangat bersama” yang diwujudkan pemerintah melalui pencanangan tahun 2009 sebagai tahun industri kreatif. Potensi besar di bidang industri kreatif ini juga yang membuat beberapa negara di belahan dunia lolos dari krisis ekonomi tahun 97. Sebut saja negara Mexico, dengan produksi animasinya ternyata mereka bisa mengalihkan sebagian besar pekerjaan animasi Hollywood ke negara mereka (Aulia Reza Bastian, Kedaulatan Rakyat, 23 Juni 2006).
Banyak tanggapan yang kerap muncul di seputar terlambatnya peran pemerintah dalam memicu perkembangan industri kreatif. Di antaranya apakah kekreatifitasan dapat dibatasi oleh waktu? Jangan-jangan setelah tahun 2009 industri kreatif menjadi “anak tiri” lagi? Bukankah sejak zaman manusia diciptakan dia sudah membawa unsur kreatif di dalam dirinya karena manusia adalah citra Tuhan Yang Maha Kreatif? Dalam konteks ini, mungkin kita lebih bijaksana bila tidak memperdebatkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Paling tidak, pepatah lama yang mengatakan lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali – lagi-lagi dapat kita maklumi. Pencanangan tersebut harus kita difinisikan sebagai awal mula keseriusan pemerintah untuk mengembangkan “kreatifitas” anak bangsa dengan segala derifasinya, seperti meningkatkan kualitas sumber daya manusia kreatif secara simultan kontekstual, memberikan perlindungan terhadap karya cipta kreatif dengan undang-undang dan hukum yang jelas dan tegas, memberikan bantuan dan kemudahan-kemudahan bagi pelaku industri kreatif hingga kepada pembenahan birokrasi menuju efektifitas yang tinggi.
Berbicara masalah industri kreatif, banyak pakar telah mendefinisikannya, salah satu definisi yang cukup komprehensif, sebut saja seperti Riset oleh New England Foundation of the Arts (NEFA) yang telah diadopsi pemerintah yaitu proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang yang terlibat. Melalui definisi ini menunjukkan arti penting ide kreatif. Tetapi, ide kreatif tersebut membutuhkan transformasi agar dapat menjadi produk bernilai ekonomi.
Pemerintah juga telah membuat model di dalam peta industri kreatif berdasarkan pada individu kreatif dengan lima pilar utama: (1) industri yang terlibat dalam produksi industri kreatif; (2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu; (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan; (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan (5) lembaga intermediasi keuangan.
Dari definisi dan model yang telah “dicetakbirukan” oleh pemerintah tersebut, jelaslah bahwa aktor utama yang terlibat adalah para intelektual, termasuk budayawan, seniman, pendidik, peneliti, penulis, pelopor di sanggar budaya, serta tokoh di bidang seni, budaya, dan ilmu pengetahuan; bisnis dan industri, yaitu pelaku usaha yang mentransformasi kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi dalam skala industri.
Setelah memahami mengenai definisi, model dan aktor utama, maka pada awal-awal ini tentulah harus segera dibangkitkan terlebih dahulu etos kreatif anak bangsa. Ini disyaratkan, mengingat telah delapan dasa warsa dan satu abad kebangkitan nasional, kita seolah-olah “ternina-bobokkan” oleh etos kemapanan dan anti kreatifitas. Ilustrasi kecil akan hal ini dapat dicontohkan dari karakter bisnis bangsa kita, kita lebih suka mengimpor “cangkul” atau “pisau dapur” dari Cina dari pada kita memproduksinya sendiri, pada hal dalam perut bumi bangsa kita sangat kaya akan bahan tambang biji besi. Mental seperti Ini tentulah disebabkan oleh kepentingan bisnis sesaat. Memang pada kurun waktu singkat impor mungkin menguntungkan bagi segelintir pengusaha, mengingat kita tidak perlu menginvestasikan sumber daya manusia dan sumber dana yang besar untuk membangun pabrik, kita cukup memainkan marjin - dari sini kita sudah untung besar. Dalam jangka panjang karakter dan etos bisnis seperti yang tersebut di atas justru akan menjadikan bangsa ini jauh dari kata mandiri apa lagi kreatif, maka wajar apabila krisis selalu dan selalu melanda bangsa ini.
Di samping sikap mental seperti di atas, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia juga terbentur tembok sistem yang tidak kondusif akibat perilaku politik dan kebijakan yang berseberangan dengan prinsip kemaslahatan jangka panjang. Hal ini bermula pada saat dunia politik yang dikuasai generasi tua lebih dikendalikan logika kemapanan yang melanggengkan kejumudan ketimbang logika pembaruan yang menumbuhkan kreativitas. Terhentinya semangat kreatif anak bangsa telah mengkondisikan kekayaan dan keindahan negeri tidak berbanding lurus dengan peningkatan martabat bangsa. Kekayaan alam, sumber daya manusia yang besar jumlahnya, keberagaman budaya tidak pernah menjadi daya tawar yang sepadan dalam kehidupan kita di kancah kehidupan global.
Menarik untuk menyimak apa yang ditulis oleh Yudi Latif Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (Pekik) Indonesia dalam hal pembangkitan etos kreatif anak bangsa, bahwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun, datang dengan etos kreatif. Seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind, etos kreatif bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik (Margaret Boden, 1962). Lanjut Yudi...
… Demikianlah, khitah pergerakan politik kaum muda terletak pada etos kreatifnya. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada ”kejumudan” dan ”ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Etos kreatif kaum muda inilah yang mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Semangat yang serupa – dan semoga ini menjadi semangat dari pencanangan “tahun industri kreatif 2009”, tentu dapat kita revitalisasikan kembali agar etos kreatif anak bangsa dapat tumbuh dan berkembang. Berkaitan dengan pemulihan ekonomi, Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class melukiskan dengan baik peran esensial kreativitas. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidak seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Pada dataran ini, maka isu utamanya bukanlah human capital dalam arti konvensional yang hanya diukur berdasarkan pendidikan formal, tetapi pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya (Yudi Latif, Kompas; 28 Oktober 2008).
Mengembalikan Kreatifitas sebagai Budaya Bangsa
Sebagaimana telah difahami bahwa karya kreatif merupakan buah dari pergulatan dan refleksi dari dinamika masyarakat dalam menanggapi fenomena alam maupun fenomena sosial. Buah dari olah pikir dan olah rasa yang ditambahkan pada fungsi-fungsi dasar yang membentuk peradaban. Kreatifitas pada tingat pertama adalah kreatifitas pada penciptaan pemenuhan kebutuhan seperti penciptaan peralatan yang bersifat fungsional. Pada tingkat kedua, kreatifitas yang bersifat memperluas fungsi dasar, kreatifitas yang telah mempertimbangkan aspek estetika, sehingga selain memenuhi fungsi fisik juga memenuhi fungsi mental seperti, keindahan, simbol, sugesti dan seterusnya. Pada awalnya keris diciptakan sebagai alat pemenuhan fungsi pertahanan diri bagi seseorang. Persyaratan mendasar bagi sebuah senjata adalah terbuat dari logam keras yang dapat untuk menusuk dan memotong. Dalam perkembangan selanjutnya, keris bagi masyarakat Nusantara terlebih masyarakat Jawa berkembang lebih jauh utamanya terhadap fungsi keris itu sendiri seperti elemen estetika, simbol dan kekuatan non fisik. Pengolahan logam keris pun berkembang sedemikian canggih hingga mampu memiliki pola hias (pamor) yang sangat beragam, bentuk yang memiliki estetika tinggi dan memiliki detail yang penuh arti dan simbol. Kreatifitas telah membawa evolusi dari sebuah alat pertahanan berkembang menjadi simbol yang memuat nilai-nilai makro. Contoh ini menjadi bukti bahwa Indonesia telah memiliki budaya kreatif yang matang dan teruji. Kemampuan teknologi dan budayanya mampu menopang dinamika kreatifitas pada zamannya.
Abad industri sebagai tanda gelombang kedua dan abad informasi sebagai gelombang ketiga merupakan turunan dari peradaban Barat. Industrialisasi yang mengandalkan pada mesin-mesin yang mampu memproduksi secara masal dan cepat telah menumbuhkan budaya baru dengan ciri pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Uang menjadi parameter baru bagi peradaban. Kapitalisme menjadi Dewa. Dalam kegagapan menghadapi gelombang kedua tersebut, gelombang ketiga telah menerpa melalui apa yang disebut sebagai gelombang informasi. Sebuah ranah baru hasil perkembangan spektakuler dari mesin hitung (komputasi). Teknologi baru yang lebih rumit dan lebih kompleks dari mesin-mesin fisik. Pada dasarnya, komputasi juga merupakan mesin-mesin dalam bentuk matematis.
Di bidang inilah kita tertinggal jauh, budaya kita tidak tumbuh dalam disiplin pengembangan ilmu pengetahuan, dunia pendidikan lebih memfasilitasi dan mengasilkan operator daripada inovator. Padahal Industri dalam bidang apapun, termasuk industri kreatif menuntut penguasaan teknologi pada bidang tertentu. Sebagaimana industri keris pada zamannya, para Empu memiliki dan menguasai teknologi pengolahan logam tingkat tinggi sehingga mampu menghasilkan produk dengan kualitas prima.
Oleh karenanya, tidak ada cara lain dalam mengembangkan kekuatan industri kreatif Indonesia adalah penguatan kebijakan, fasilitasi serta dukungan politis terhadap pengembangan teknologi penopang bagi industri kreatif. Sehingga menjamin para kreator dapat mengembangkan imajinasi dan kreatifitasnya dalam lingkungan teknologi handal yang dikuasai sepenuhnya oleh putra-putri Indonesia. Dengan demikian salah satu persaratan mendasar bagi tumbuhnya industri kreatif adalah proses dialog antara riset budaya dan riset teknologi yang menghasilkan produk kreatif dalam skala industri.

Dialog antar Budaya sebuah Keharusan
Memahami kekuatan dan kelemahan bangsa Indonesia dalam pengembangan industri kreatif seperti yang tersebut di atas, maka langkah konkrit yang harus dilaksanakan pada awal-awal ini adalah melahirkan insan-insan kreatif dengan ide-ide kreatif sebagai modal dasar industri kreatif. Maka sangat relevan dengan apa yang dikatakan oleh rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono W Kusumo pada acara Seminar Produk Budaya Indonesia di Balai Sidang Jakarta pada tanggal 4-7 Juni 2008 lalu bahwa industri kreatif hanya akan subur ketika ada kebebasan individu dan negara harus menciptakan iklim untuk tumbuhnya kebebasan individu itu. Karena itu, industri ini harus dibangun berdasarkan platform budaya dalam arti ekspresi manusia dan kemerdekaan individual bukan berbasis platform modal. Lebih lanjut Sardono mengatakan bahwa jangan sampai pada awal-awal ini kita sudah dibatasi oleh aturan yang hanya cocok untuk ekonomi gelombang kedua (menyangkut teknologi yang dimulai oleh revolusi industri yang menuntut keseragaman dan bersifat massal) dan kita tidak terburu-buru untuk membuat rencana membentuk semacam badan yang akan mengeluarkan sertifikat untuk tenaga kerja industri kreatif, karena menurutnya bahwa situasi saat ini tidak terlalu kondusif, bahkan dengan otonomi daerah karena ada kecenderungan untuk menyeragamkan, membuat pembatas yang tidak perlu, mengawet-awetkan, dan mentradisi-tradisikan (Kompas, 12 Juni 2008).
Pada seminar tersebut, selain mengemuka soal pola sikap masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi perkembangan industri kreatif, yang tidak kalah pentingnya adalah isu akan tibulnya erosi budaya. Ini disebabkan implikasi industri kreatif bukan saja pada aspek ekonomi semata tetapi akan berpengaruh luas juga pada pola sosial masyarakat. Ini juga akan menyangkut seberapa besar budaya luar yang masuk ke Indonesia dan orang Indonesia yang akan pergi ke luar sebagaimana yang diungkap oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tentang interaksi budaya yang pasti akan terjadi secara signifikan (Kompas, 12 Juni 2008). Kekhawatiran akan terjadinya erosi budaya asli ini sangatlah beralasan. Ini dapat dilihat pada Nusa Jawa Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan oleh Denys Lombard yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 1996 sebagaimana yang diungkapkan kembali oleh Ninuk Mardiana Pambudi yang mencontohkan antara lain industri pariwisata khususnya pada pola prilaku turis dalam memperlakukan masyarakat dan budaya yang dikunjunginya dalam “semangat kolektor prangko dari pada semangat musafir petualang”. Operator industri wisata yang menyadari tuntutan itu lalu mengemas seni atau upacara dalam paket yang terlepas dari konteks. Di Bali, demikian Lombard, keluhan muncul dalam peniruan bata-bata pura untuk arsitektur hotel dan penggunaan serampangan hiasan agung dari tanaman (umbul-umbul, penyor, dan lamak).
Dari fakta di atas, maka perlu ditumbuhkan tradisi dialog antar budaya (interkultur). Tradisi inilah yang dapat menyelamatkan kita dari erosi budaya. Sejarah budaya kita sangat mengenal tradisi dialog interkultur, bukan mempengaruhinya. Berinteraksi ke luar, tetapi tradisinya bukan pada bentuk, tetapi sikap. Sebagai mana yang dikatakan oleh Sardono bahwa tradisi dialog interkultur sudah terjadi berabad-abad dalam pertemuan dengan berbagai peradaban besar, yakni Hindu, Buddha, Kristiani, dan Islam serta bangsa-bangsa dari Timur dan Barat. Dalam konteks dengan industri kreatif, Sardono mengambil contoh Bali. Meskipun masyarakatnya relatif homogen, tetapi dialog interkultur tetap terjadi. Tari kecak dan janger yang kita lihat sekarang adalah produksi tahun 1935 ketika seniman Barat, seperti Rudolph Bonnet, Walter Spies, Le Mayeur, hingga Miguel Covarubias, memberi pengaruh pada—dan dipengaruhi—kesenian Bali. Setelah kedatangan seniman Barat, pelukis Bali mulai membuat lukisan tentang kehidupan sehari- hari, seperti orang ke sawah dan pasar. Sekarang di Bali terdapat lukisan wayang yang tradisional, tetapi juga ada lukisan kontemporer.
Pada akhirnya kelestarian dan ketahanan budaya terletak di tangan kita sendiri. Jika masyarakat Indonesia mencintai budaya mereka sendiri, maka budaya tersebut akan dapat bertahan meski diterjang oleh ombak modernisasi yang semakin besar. Di sini muncul sebuah pertanyaan, apakah kita siap mencintai budaya dan produk kita sendiri? Kita bisa mencontoh Jepang dalam melestarikan budayanya. Bangsa Jepang sangat taat dan kekeh mempertahankan tradisinya namun di sisi lain mereka juga sangat sukses menjadi negara modern di dunia dengan segudang industri kreatifnya. Lebih dari itu, bukanlah berlebihan kalau dikatakan bahwa Bangsa Jepang hidup hanya dengan kreatifitasnya.
Budaya khas Indonesia yang sangat kaya mulai dari Sabang hingga ke Marauke, jumlah penduduk dan kekayaan alam yang berlimpah tentulah di era ke depan Indonesia akan sangat diperhitungkan. Ini tinggal masalah bagaimana kreatifitas kita utamanya dalam mengemas budaya kita sendiri supaya tampil menarik di era modern seperti sekarang. Pada era keterbukaan ini, yang menurut Tofler sebagai global village, kita harus paham dan sadar bahwa arus budaya luar akan mudah sekali berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia dan secara konsisten akan menggerus kebiasaan generasi muda Indonesia. Tidak ada kata lain bahwa kita harus mulai menghidupkan kembali spirit budaya lokal dalam jiwa generasi muda saat ini. Mulailah dari diri sendiri dan saat ini juga untuk menggugah kemauan diri sendiri guna mengenal dan lebih memahami budaya Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar